Sang Juragan Teh






 Sang Juragan Teh
 Hella S.Haasse 
Gramedia Pustaka Utama, 440 hal
Kompas-Gramedia Book Fair-JCC


Sinopsis:

Kisah tentang seorang juragan teh bernama Rudolph yang jatuh bangun  mengurusi perkebunan teh di wilayah Gambung, tanah Priangan Jawa Barat. Dengan lansekap perkebunan yang luas serta penerimaan para kerabatnya yang tinggal di Batavia, Parakan Salak, Arjasari dan Sinagar, perjalanan dan perjuangan membangun perkebunan teh di tanah Hindia menjadi sangat lancar.

Sebagai seorang lulusan teknik di Belanda, Rudolph memiliki kemampuan untuk membentuk dan merancang bangunan dan ini menjadi modal utama untuk menetap di Hindia. Kekerabatan yang erat antar saudara sekandung maupun sepupu dan paman membuat Rudloph betah. 

Hidup di tanah Priangan dengan suasana yang tenang sejatinya akan melahirkan aura rumah dan lingkungan yang menyenangkan bukan? Namun tidak bagi  Jenny. Usai melahirkan beberapa anak suasana hati sang istri kian memburuk dan mencemaskan. 





 Ulasan:  



Alur kisah yang mengalir dengan  minim dialog menjadikan kisah ini terasa semi sejarah dan kurang letupan. Sebagai seorang pengarang yang pernah tinggal di tanah Hindia,  Hella memiliki latar belakang kuat untuk menjadikan novel ini hidup. Ia lahir di Batavia dan pernah tinggal di Bogor, Surabaya dan Bandung. Jadi tak heran novelnya sangat mendalam dalam menggambarkan suasana tempat di Jawa khususnya tanah Priangan.

Isi cerita berkisar dari mulai pembukaan lahan, hingga bagaimana hidup sebagai juragan teh bersama keluarga di tengah penduduk pribumi dan kondisi alam yang berbeda dengan tanah leluhurnya.

Potret kehidupan warga biasa di masa kolonial adalah hal yang menarik ditelusuri lewat novel ini. Abad 19 adalah masa dimana penguasa dalam hal ini warga sipil Belanda dapat hidup berdampingan dengan pribumi. Meski hanya fokus pada Rudolph, Cateau, Jenny  atau para kerabat Kerkhoven, namun di balik kisah ini tersimpan suatu wakil zaman yang penting bagi sejarah perkebunan teh.

Ada masa dimana seorang warga sipil Belanda membawa pembaruan bagi kaum pribumi melalui pembukaan lahan dari hutan yang lebat, pengolahan tanah, pemilihan jenis teh yang bagus penjualannya, dan bagaimana memajukan dan menjual komoditi ini dengan baik.

Pembaruan tak hanya meliputi perkebunan semata namun  juga aspek pendukung semisal jalur kereta api, jalan desa yang kian terhubung kemana-mana, kereta kuda yang perlahan digantikan oleh mobil. Atau sisi psikologis dari masing-masing manusianya.

Ada pula masa ketika mereka yang telah jenuh hidup di Priangan memutuskan kembali ke negerinya. Meninggalkan segala apa pun yang telah dirintisnya.

Pendekatan sosiologi dilakukan bagi novel ini.

Aspek Sosiologi penting karena kisah dibagi menurut tahun-tahun Rudolph memulai dari awal hingga akhir hidupnya. Ini menandakan bahwa perjalanan hidup merupakan tonggak sejarah tersendiri dan untuk lebih memfokuskan pada kegiatannya. Penetapan tahun-tahun mungkin akan memudahkan dalam menetapkan suatu momen. Namun kelemahannya seakan novel ini menjadi semacam buku sejarah. Padahal tidak dimaksudkan demikian.

Novel ini tidak terlalu menampilkan banyak dialog antar pelaku namun untuk mengetahui perasaan dari masing-masing karakter dipakailah cara melalui surat-menyurat. Ada surat Rudolph yang ditujukan untuk Cateau, adiknya yang mengeluhkan tentang orangtua mereka yang terkesan pilih kasih dalam menangani perkebunan dengan August- adik Rudolph.

Atau surat Jenny pada adiknya yang mengeluhkan hal-hal seputar rumah tangganya. 

Dalam kisah yang semakin intens seiring bergantinya tahun dan zaman, perubahan perlahan mulai membuat para tokohnya mengalami gegar budaya. Jenny yang memendam rasa ingin memiliki mobil merasa terbelenggu karena dilarang Rudolph yang lebih mementingkan kemajuan perkebunan tehnya.

Rasa tertekan yang kian menumpuk dan menahun menghasilkan akhir hidup yang tragis bagi Jenny. Ini semua merupakan fakta bahwa di masa Hindia Belanda pun seseorang dari kaum kulit putih akan mengalami rasa frustrasi, tak berdaya dan stres.

Kaum pribumi digambarkan hanya segelintir saja dan tak berperan banyak. Hella sang pengarang lebih menitikberatkan pada sosok juragan teh dengan pelbagai persoalannya. Terkesan menarik tapi  bisa jadi inilah kelemahan ceritanya.

Bagi yang suka dengan fiksi semi sejarah, membaca novel ini seakan membawa kita ke masa lampau yang manis kala penjajah masih bersikap baik hati dan apa adanya. Sisi melankolis atau sentimentil diuraikan melalui deskripsi tanah Priangan yang permai berikut gunung dan hutannya.

Kelemahannya hanya pada cerita yang melulu hanya pada sosok Rudolph. 

Jika difilmkan pasti menarik dilihat dari sisi propertinya yang serba era 1800-an, namun hati-hati dengan cerita yang dibangun. Asal tak terjebak oleh monotonnya kisah sang Juragannya saja, sudah pasti akan unik.



Sang Juragan Teh Sang Juragan Teh Reviewed by Erna Maryo on April 06, 2016 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.