The Girl On the Train

 


The Girl on the Train
Paula Hawkins
Doubleday, 336 p/431 hal
Gramedia, Blok M



Sinopsis:

 
Rachel Watson adalah seorang pelaju yang setia menaiki kereta jurusan Ashbury menuju Euston untuk bekerja. Setiap berada di kereta tak lupa ia akan mengamati pemandangan lewat jendela yang dilewati kereta terutama sebuah rumah bernomor lima belas. Rumah yang bertirai krem dan ada empat gentingnya yang hilang di bagian atap itu selalu menjadi obsesi  Rachel.


 

Di dalam rumah itu tinggal sepasang pria dan wanita. Rachel menamai keduanya Jason dan Jess. Ia selalu hafal setiap kegiatan yang dilakukan kedua pasangan itu sehari-harinya hingga suatu hari muncul berita ada wanita yang dilaporkan menghilang. Wanita itu tak lain adalah Jess dan nama sebenarnya adalah Megan.

Maka serangkaian pemeriksaan dilakukan terhadap Rachel. Ini hal yang menyulitkan baginya karena sebenarnya ia tak ingat apa-apa. Sebagai wanita pecandu alkohol kelas wahid, alam pikirannya selalu dipenuhi halusinasi. Setiap akan mengingat sesuatu, selalu buntu pada akhirnya. Ia merasa sulit mengingat detail kejadiannya.

Sang mantan kekasih,  Tom, semula membantunya namun lama kelamaan kian menjauh dan berubah misterius terlebih sejak Anna, istri barunya hadir dan berhasil memberinya seorang putri.  Kedekatannya dengan Scott -sang suami Megan- makin menyulitkan posisi Rachel. Tak ada yang mampu menolongnya kecuali ia sendiri yang harus bangkit dari keterpurukan akibat alkohol dan jeratan pelupaan yang kronis.


Ulasan:


Ketika pertama kali mendengar cerita ini, ada rasa penasaran akan antusiasme dan komentar yang mengatakan bahwa novel ini mirip dengan Gone Girl. Apalagi novel ini sudah dibuatkan filmnya sehingga saya terpacu untuk membacanya dahulu. 

Kisahnya sangat unik karena tokoh protagonisnya yang bernama Rachel adalah wanita pecandu alkohol yang parah dan bukan sosok yang diteladani. Semasa masih bersama kekasihnya pun ia kerap membuat kejadian yang tak mengenakkan. Bahkan ketika sang kekasih akhirnya memiliki kehidupannya sendiri, Rachel masih saja ingin mendekatinya. Dan mengemis-ngemis untuk hidup bersama kembali.

Dalam sebuah kisah yang berbau thriller sekaligus misterius ini, sering kita dijebak oleh tingkah dan perilaku sosok yang demikian familiar dan mengarahkan kita pada pelakunya. Ada memang petunjuk-petunjuk yang nyaris bisa mengantar kita ke pelaku namun untuk novel ini tak hanya sulit menebak, namun juga ruwet sedikit. Kalaupun bisa menebak dijamin pasti meleset.

Dengan format penceritaan yang bergantian, satu bab bercerita tentang 'aku'-nya Rachel, bab lain tentang 'aku'-nya Megan, lalu ganti menjadi 'aku'-nya Anna, pembaca dipaksa untuk menyelami perasaan hati masing-masing dari ketiga perempuan ini.

Konflik muncul agak lamban namun secara pasti bergerak ke arah yang menegangkan dan menukik tajam pada pelakunya. 

Saya agak bosan pada awal membaca keluh kesah Rachel namun rasa penasaran mengalahkan segalanya. Dan hasilnya, benar-benar tak terduga!

Brilian, itu kata yang tepat untuk pengarangnya yang pintar menutup rapat-rapat pelaku dan motifnya. Sampai di sini kita pasti akan menganggap "Ah, cuma begitu saja kok membunuh". Namun yang dikagumi di sini adalah  kepiawaian pengarang dalam meramu kisah hingga membuat kita terpaku dan sedikit jengkel dengan tokoh alkoholik ini. 

Dilihat dari awalnya saja, pengarang memilih latar kereta, perjalanan, dan konflik batin sebagai unsur pokok dalam cerita dimana sudut pandang dari sini agak unik jadinya.

Lalu jalinan dan alur yang dibagi per bab dengan sudut pandang 'aku' cukup melelahkan sebenarnya namun itulah cara satu-satunya untuk mengenali secara psikologis perasaan tokoh satu demi satu.

Ketika Rachel menemukan jati dirinya dan mulai menelusuri kembali daya ingatnya yang hilang akibat alkohol, di situlah pencerahan yang sangat krusial demi terungkapnya kasus pembunuhan itu.

"Aku melihatmu...kau pikir aku tidak ingat apa-apa, tapi aku ingat. Aku melihatmu. Setelah memukulku, kau meninggalkanku di sana, di dalam terowongan bawah tanah..."

Terakhir, penyelesaian yang tidak biasa sekaligus pengungkapan pelaku pembunuhan Megan yang di luar dugaan adalah klimaks yang sangat memuaskan.

Saya suka dengan gaya penceritaan seperti ini. Kasusnya biasa tetapi menjadi luar biasa akibat model alur dan penokohan masing-masing yang cukup kuat.

Tinggal menyaksikan filmya kalau begitu.  

The Girl On the Train The Girl On the Train Reviewed by Erna Maryo on Agustus 20, 2016 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.