Entrok
Okky Madasari
Gramedia Pustaka Utama, 282 hal
Gramedia, Gandaria City
Sinopsis:
Kisah dua perempuan yang menjalani hari-harinya dengan keyakinan yang berbeda. Adalah Marni, perempuan buta huruf namun piawai dalam mencari uang. Ia pandai dalam mencari celah di tengah himpitan orang yang ingin memperoleh uang dengan cepat yakni memberi utangan pada mereka yang membutuhkan. para peminatnya mulai dari pedagang yang berjualan di pasar Ngranget hingga kaum priyayi dan guru di Singget.
Selain pergi ke gunung Kawi untuk mencari pesugihan, Marni juga tetap mempertahankan keyakinannya dalam mensyukuri segala yang ia terima dengan mempersembahkan tumpeng panggang lengkap dengan ubo-rampe ditemani sebatang lilin untuk Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa yang tentu saja kebiasaan ini ditentang keras oleh putri satu-satunya, Rahayu Ningsih.
Rahayu yang pintar karena bisa bersekolah hingga kuliah pun juga memiliki kehidupan sendiri yang tak kalah serunya setelah bertemu dengan Kyai Hasbi, sosok yang menyeretnya ke penjara pada akhirnya.
Ia kerap mengikuti pengajian dan selalu membela kaum yang lemah.
Dalam pusaran arus hidup dan permainan nasib yang meliuk-liuk, keduanya memiliki kesamaan yakni selalu berhadapan dengan aparat militer. Marni dengan keluguannya merelakan sebagian tanahnya diberikan demi membungkam orang-orang yang sengaja ingin menikmati hartanya.
Sementara Rahayu berhadapan secara frontal dengan aparat yang memaksanya mundur dari kegiatan menghalangi pembangunan waduk. Kegigihannya tak bertaji. Rahayu malah ditangkap dan masuk penjara.
Marni dan Rahayu adalah ibu dan anak yang kuat. Keduanya tak pernah lelah mencari jati diri di tengah manusia-manusia munafik yang ingin menikmati hartanya.
Ulasan:
Ada kalanya manusia membutuhkan materi yang sangat banyak hanya untuk memuaskan pihak lain tanpa peduli siapa yang memilikinya, siapa yang bercucuran keringatnya dan siapa yang mengais-ngais berliannya. Pengarang nampak tepat sekali membidik suasana dan pelaku-pelaku yang berlindung dibalik topeng hukum dimana aturan dan aparat sangat berkuasa pada zamannya.
Marni harus melakukan demi sesuatu yang benar dan tidak melanggar hukum. Apa saja harus memakai uang yang harus disetorkan kepada aparat mulai dari pemakaian lapak berjualan saat pencoblosan, hingga memenangkan perkara perebutan harta warisan almarhum suaminya yang rupanya ingin dinikmati pula oleh istri gelapnya.
Duh, Gusti, apa salah kalau aku mau cari rezeki, punya harta biar tidak dihina-hina orang? Aku kan tidak membunuh orang, tidak mencuri, tidak merampok...lha kok malah semua orang ngrasani? Hal. 100
Kalau kita baca koleksi novel karya Okky, isinya selalu saja menyentil dan mengharu biru perasaan. Ada rasa gemas dan geregetan dengan tingkah polah aparat yang seenaknya memelintir peraturan dan membuat rakyat semakin tak berdaya. Dan memang kenyataannya demikian.
Alur cerita yang dibagi antara rentang waktu tahun 1950-1994 dengan dua generasi yang berbeda tetap belum bisa menghapus kentalnya kekuasaan militer yang kian hari kian akut. Ditambah dengan cengkeraman simbol pohon beringin dan warna kuning pada masa itu melukiskan betapa dominannya partai ini.
Saya sangat menikmati cerita ini yang tak lekang oleh zaman ini karena ya, hingga hari ini pun pasti masih ada praktik-praktik seperti itu. Bukan tak mungkin di pelosok desa yang jauh dari jangkauan penerangan, aparat desa hingga kelurahan masih melakukan aneka cara untuk tetap 'dihormati'.
Ibarat makanan, novel ini paketnya lengkap. Ada aparat yang berkuasa, politik uang, kaum minoritas yang tertatih-tatih mencari makan di tengah upaya gerakan anti China, orang-orang yang membawa nama agama serta pemaksaan tanpa mengedepankan dialog. Ini semua masih sama dan sebangun dengan kondisi sekarang, tahun 2016.
Penceritaan yang sangat apa adanya dan kuat dalam plot serta latar adalah brand pengarangnya. Tampilnya kaum agamis yang diwakili oleh Kyai Hasbi tak serta merta menjadikan cerita menjadi lebih sejuk namun justru menjadi pungkasan yang kelam.
Kecuali Kerumunan Terakhir, novel-novel Okky lainnya sangat menarik untuk digali karena lekat menyuarakan hati nurani yang tercederai serta pantas diangkat ke layar lebar, terlebih kisah ini. Dua perempuan beda generasi namun tetap tangguh dengan cara mereka sendiri saat berhadapan dengan aparat alias pemerintah.
Novel yang mencerahkan.
Tidak ada komentar: