Cannery Row
Penerjemah Eka Kurniawan
John Steinbeck
Penerbit Bentang, 235 halaman
Pameran Big Bad Wolf
Sinopsis:
Cannery Row adalah tempat yang tak akan pernah dianggap sebagai lingkungan yang sangat apik dan tertata baik. Anehnya justru wilayah ini menjadi wadah yang menyenangkan bagi sebagian penghuninya. Mereka-mereka ini berasal dari berbagai lapisan masyarakat yang terbuang dan terpinggirkan seperti misalnya para penghuni rumah pelacuran megah milik Dora Flood yang diberi nama Bear Flag Restaurant atau Mack dengan anak buahnya yang berjumlah empat orang dan beruntung bisa menempati gudang tak terurus, Palace Flophouse and Grill, atau Dock yang menempati sebuah bangunan 'laboratorium' seadanya.
Sebagian besar penghuni Cannery Row di sana dicukupi kebutuhannya oleh sebuah toko kelontong milik Lee Chong, seorang warga Tionghoa yang kalem namun pintar berbisnis. Meskipun ada saja yang berhutang namun pemilik toko ini cerdik dalam melakukan pertukaran nilai barang yang diperdagangkan.
Suatu hari Mack dan anak buahnya ingin memberikan pesta kejutan ulang tahun Dock, seorang pengelola yang hidup sendirian di Western Biological Laboratory dan pekerjaannya meneliti binatang laut sekaligus memperdagangkan benda-benda aneh dan cantik seperti anemon, bunga karang, remis, siput, kuda laut dan lain sebagainya.
Pesta ulang tahun berhasil dilangsungkan dengan Dock yang pura-pura terkejut atas perayaan itu. Ya, sebenarnya Dock sudah lebih dulu tahu bahwa ulang tahunnya yang -ternyata palsu- itu akan dirayakan dengan sangat meriah oleh Mack dan kawan-kawan.
Ulasan:
Menemukan salah satu tulisan dari penulis besar Amerika bernama John Steinbeck adalah suatu kemujuran karena jujur saya sulit mengakses berbagai karya novel pengarang Amerika secara gratis. Kalau gak beli bukunya, berarti memang tidak bisa menikmati isi karyanya. Nama John Steinbeck memang tak bisa diragukan lagi. Siapa sih yang tidak mengenal dia? Pramudya Ananta Toer saja sangat mengaguminya.
Setelah The Grapes of Wrath, praktis saya tak pernah lagi membaca atau lebih tepatnya menemukan novelnya yang lain. Entah mengapa saat berjalan di sebuah pameran buku, saya menemukan novel ini, Cannery Row yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dengan tebal yang tak sampai 300 halaman, namun ternyata isinya sangat membludak, tumpah ruah seakan novel ini berhalaman lebih dari 300 halaman.
Novel ini mengupas tentang nilai-nilai kemanusiaan dari sebuah kaum marginal di sebuah wilayah pinggir pantai bernama Cannery Row. Tentang kebaikan yang tersimpan dalam sebuah pribadi-pribadi sederhana meskipun label yang disandang adalah sampah masyarakat. Ada pun tokoh Doc yang dijelaskan sebagai sosok yang lebih pintar dan disegani oleh para warga Cannery Row juga adalah pribadi yang ngemong dan tak neko-neko.
Tokoh sentralnya adalah Mack. Ia beserta anak buahnya selalu memiliki banyak ide untuk melakukan berbagai hal yang 'bermanfaat'. Bermanfaat dalam arti hanya berlaku bagi diri dan kelompoknya saja walaupun kadang kesembronoan selalu mengiringi langkahnya hingga merugikan pihak lain.
Cerita ini penuh bermakna simbol karena tak bisa dipungkiri kedua arus (arus berpunya dan tak berpunya) yang bermukim di sini, apabila tidak pandai-pandai dalam mengelola perasaan, bukan tak mungkin akan menimbulkan gesekan antar kelompok, yakni si sampah masyarakat yang diwakili Mack dengan si elite, dalam hal ini diwakili oleh Doc.
"Aku senang ketika kau memukulku," Mack melanjutkan. "Aku memikirkannya...tetapi sialan, aku tak akan mengingat apa pun. Aku tak akan belajar apa pun, Doc," kata Mack menangis. hal 153.
Pengarang cukup detail dalam meggambarkan lanskap wilayahnya di mana banyak sekali barang rombengan dan lingkungan yang 'menjijikkan' alias kumuh bertebaran di mana-mana. Namun satu hal yang pasti hati dan perasaan para penghuninya yang tulus serta apa adanya itulah yang memperkuat sebuah cerita.
Tulisan Steinbeck yang hanya menceritakan aktivitas manusia-manusianya seakan tanpa pretensi apa-apa dan melakukan apa saja demi memenuhi isi perut adalah inti dari kisah. Alur cerita cukup lancar mengalir paralel dengan latar waktunya yang terjadi pada 1945. Sungguh menawan sekali menyaksikan Mack beserta anak buahnya berupaya untuk membuat pesta kejutan ulang tahun yang dengan segala keterbatasannya, mereka mampu menampilkan kekompakan, kerjasama dan gotong royong antar warga.
Tentang Kodok
Ada semacam ironi yang diwakili oleh sosok bernama Mack. Meskipun ia bukan siapa-siapa, namun kepeduliannya terhadap sesama manusia sangat diacungi jempol. Ia bersedia mencarikan kodok-kodok hanya karena menginginkan upah yang tak seberapa. Tak sebanding dengan pencariannya yang membutuhkan waktu dan tenaga yang cukup berisiko.
"Waktu yang terbaik untuk menangkap kodok adalah malam hari"...hal 86
Alur kisah yang humanis di pertengahan langsung berbelok menjadi tentang kodok, Steinbeck melukiskan soal perkodokkan ini dengan begitu puitis, indah dan mempesona. Saling bertalian menjalin dengan simpul yang longgar.
Kolam kodok berbentuk persegi-lima puluh dan tujuh puluh kaki panjang dan lebarnya serta empat kaki tingginya. Rumput lembut yang subur tumbuh di sisi-sisinya dan sebuah selokan kecil keluar menuju kebun buah-buahan. Ada banyak kodok semalaman, ribuan. Suara mereka meriuhkan malam, mereka berteriak dan menyalak dan berkuak-kuak dan bergemerutuk. Mereka bernyanyi pada bintang-bintang, pada bulan yang memudar, pada rumput yang bergoyang. Mereka mengembuskan lagu cinta dan sapaan-sapaan...hal 106
Membaca novel yang indah dan selancar ini tak akan berhasil dengan baik tanpa mengingat peran Eka Kurniawan yang dengan cantiknya melukiskan latar serta manusia-manusia di dalamnya dengan tepat, indah, detail dan apa adanya.
Akhir kata, meskipun cerita ditingkahi kodok dan hewan-hewan laut yang berseliweran, tema besarnya tetaplah soal bagaimana seseorang dengan segala keterbatasan yang ada memiliki hati yang luas untuk menyenangkan orang lain yang ia hormati dan kagumi.
Membaca novel ini seakan kita dibawa ke situasi berantakan namun ajaibnya semuanya menjadi tertutupi oleh rapihnya rencana dalam menyusun pesta, serta tak ketinggalan rasa dan hati masing-masing penghuni Cannery Row.
Tidak ada komentar: