Perempuan Bersampur Merah
Intan Andaru
Gramedia Pustaka Utama, 216 hal
iPusnas
Sinopsis:
Ayu adalah gadis biasa yang senang menikmati kesehariannya bersama kedua sahabatnya, Ahmad dan Rama di desa yang terletak di Banyuwangi. Sejak kecil mereka bertiga selalu melakukan petualangan bersama-sama. Pada suatu masa persahabatan antara Ayu dan Rama retak. Rama menjauhkan diri dan tak ingin terlibat dengan segala keakraban yang dialami Ayu dan Ahmad.
Pada akhirnya persahabatan itu renggang karena ada faktor lain yang lebih dahsyat. Bapak Ayu yang memiliki kemampuan menyembuhkan orang sakit akhirnya harus menjadi korban kebrutalan warganya sendiri. Pada 1998, desa yang tenang dan tentram itu berubah menjadi bengis dan sewenang-wenang dalam menetapkan siapa pun yang dianggap sebagai dukun santet. Ayu akhirnya mengganti nama menjadi Sari untuk melupakan kesedihan.
Sepeninggal Bapak, Sari bersama ibunya berjuang untuk kembali bangkit dan mengisi hidup. Ibu membuat penganan dan jajanan pasar, membeli bunga untuk dijual kembali sebagai kembang setaman untuk berziarah, atau berjualan lainnya. Sementara Sari yang tetap penasaran dengan orang-orang yang dulu berhasil menggerakkan massa untuk membunuh almarhum bapaknya, akhirnya terdampar sebagai penari gandrung asuhan Mak Rebyak.
Pertemuan kembali antara Sari dengan Rama yang lama pergi menuntut ilmu di Bogor menjadi anti klimaks karena sesungguhnya rasa cinta itu hanya dibangun atas dasar kasihan. Rama mengetahui siapa sebenarnya dalang tragedi pembunuhan dukun santet itu.
Ulasan
Novel yang ringan namun agak nanggung dengan misi yang akan diangkat. Ceritanya menarik karena mengetengahkan kisah kelamnya peristiwa yang terjadi pada 1998 di sebuah desa terpencil di daerah Banyuwangi. Sudah banyak novel yang mengangkat tentang tragedi 1998. Ada beberapa yang mendebarkan, tragis, ada pula yang biasa saja.
(Baca: Laut Bercerita: Luka Masa Lalu yang Tak Mungkin Hilang dari Ingatan)
Jujur saja, saat membaca sinopsis kisahnya, ada rasa ekspektasi yang kelewat tinggi dengan ceritanya. Ada pembunuhan, pembantaian dan cara bagaimana untuk bangkit kembali setelahnya. Apalagi cerita di sini disampaikan lewat kacamata seorang anak yang berangkat remaja dan kemudian menyelidiki sendiri nama-nama yang disinyalir sebagai pelaku pembantaian dukun santet. Terdengar seru bukan?
Ketika membacanya saya agak kecewa sesudahnya. Cerita yang seharusnya bisa meledak, malah terkesan biasa alias datar. Letupan yang saya harapkan atau konflik-konflik memanas yang barangkali muncul ternyata tidak begitu menonjol atau dengan kata lain, aman-aman saja. Ada memang konflik batin, sosial dan budaya. Namun kurang mantul. Alih-alih menceritakan soal kegetiran, pengarang justru membicarakan hidup selanjutnya yang akan dijalani.
Novel ini hanya membicarakan perasaan seorang anak remaja yang terombang-ambing dengan pertanyaan semacam; akankah Ayu menuntut balas kematian bapaknya ataukah belajar menari Gandrung saja? Tetap saja saya merasa kurang ada kedalaman. Seakan ada yang belum tergali dengan sepenuhnya.
Sekadar Tempelan
Banyuwangi yang sering disebut sebagai kawasan Tapal Kuda di Jawa Timur ini pernah memiliki jejak sangat kelam. Daerah ini menyimpan catatan kepedihan karena pernah terjadi pembantaian terhadap dukun santet secara luas. Banyak korban yang rata-rata menjadi sasaran kemarahan langsung dihabisi tanpa bisa dikonfirmasi apakah benar berprofesi sebagai dukun santet atau bukan.
"Para dukun santet itu memang harus dibunuh, atau bila tidak, satu per satu warga kampung yang tak bersalah akan menjadi korban dari ilmunya..." hal. 200
Nah, kisah ini seharusnya menjadi landasan kokoh yang menurut saya lebih berbobot untuk dikembangkan dan ditelusuri. Seharusnya novel ini bisa lebih banyak berbicara tentang keterlibatan seorang penari bersampur merah yang terkait dengan masa pembantaian itu. Namun kenyataannya tidak. Penari bersampur merah hanya sebagai tempelan sekadarnya saja tanpa memberi arti dan ruang yang lebih luas.
Padahal judul ini bisa bermakna banyak dan boleh jadi dapat membalikkan keadaan dikaitkan dengan faktor kondisi psikis Sari yang pasrah oleh keadaan. Sari yang tidak bersekolah tinggi, Sari yang hanya perempuan desa, yang membantu ibu dan hanya memiliki kesibukan sebagai penari Gandrung adalah tokoh potensial untuk meledak dan menjadi panutan.
Sampur yang Berkelana
Satu-satunya yang menarik dari kisah ini adalah ketika sampur (selendang) penari Gandrung ini memilih sendiri siapa penarinya. Seperti tongkat Harry Potter yang memilih sendiri pemiliknya, perjalanan sampur sangat unik dan rada mistis. Sampur keramat ini berkali-kali menghilang dan kembali lagi ke pemilik yang seharusnya. Lalu jatuh di pundak Sari dan sekaligus menahbiskan dirinya sebagai penari Gandrung paling tersohor di desa itu. Dan semestinya di poin ini pengarang bisa lebih menggali lagi soal keterkaitan antara penari dengan dukun santet misalnya.
Saya kok merasa pengarang memasukkan banyak hal tapi pada akhirnya yang dituju sebenarnya hanyalah pertemuan Sari dan Rama. Penyelesaian yang tergesa-gesa di akhir kisah membuat saya bingung. Ini mau menceritakan apa sebenarnya? Alur kisahnya seakan melebar ke mana-mana tapi tidak ada yang terselesaikan.
Hanya Lewat
Pertemuan antara Sari dengan Pak Muis di rumah tahanan tidak serta merta menjadi jalan untuk mencari kebenaran. Seusai berjumpa, tak terdengar lagi kabar tentang Pak Muis dan menggantung begitu saja ujung ceritanya. Atau pertemuan Sari dengan Mbak Nena yang digadang-gadang bakal menjadi tokoh penting namun ternyata hanya numpang lewat juga.
Perjumpaan Sari dengan Rama yang ikut-ikutan menggantung pun kian menambah rasa putus asa dalam membacanya. Pikiran yang berkecamuk dan keinginan mencari jawaban seakan ikut berkelindan dalam benak kedua orang yang saling bertemu.
Aroma Desa
Di luar itu semua, masih ada hal yang menyenangkan saat membaca cerita ini sampai habis. Kepiawaian pengarang dalam mendeskripsikan desa, alam pemandangan, tutur kata asli, warga desanya serta keresahan diri tokoh utamanya cukup tergambar dan terwakili dengan baik. Harmoni pedesaannya agak mirip dengan kisah Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Atau roman Kambing dan Hujan karya Mahfud Ikhwan. Lumayan, aroma dan suasana desa yang asri sangat menonjol sekali dan banyak ceruk yang bisa dilukiskan.
(Baca: Kambing dan Hujan, Teguhnya Sebuah Kesalahpahaman)
Sebagai perempuan, Sari telah melakukan perjalanan perenungan yang panjang hingga akhirnya sampai di titik ia harus pergi untuk melupakan duka nestapa yang bertumpuk-tumpuk. Bisa dikatakan Sari adalah sosok wakil dari para penyintas tragedi berkepanjangan akibat isu-isu lokal yang berseliweran dan tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya selama ia hidup di desa itu.
Tidak ada komentar: