Hanum Salsabiela R-Rangga Almahendra
Gramedia Pustaka Utama, 352 hal
Pameran Buku IKAPI, Istora Senayan
Sinopsis:
Kisah petualangan Hanum dan suaminya Rangga, berlanjut ke tanah Amerika. Di sana keduanya mengalami peristiwa yang tak mungkin terlupakan. Bermula dari tugas jurnalistik yang dibebankan kepada Hanum dari harian beroplah kecil dan gratisan, Heute ist Wunderbar - Hari Ini Indah, sang bos, Gertrud Robinson menugaskan Hanum untuk menulis artikel dengan tema Would the World be Better without Islam? Dan bahan-bahan artikel itu harus dicari di Amerika. Sementara itu di tempat lain Rangga mendapat ide untuk melengkapi dua jurnal sebagai syarat meraih gelar Ph.D nya. Saat menatap foto jutawan baru dari AS bernama Phillipus Brown yang akan memberikan ceramah, seketika Rangga menemukan ide. Ia harus menemui Tuan Brown. Bukan suatu kebetulan bila akhirnya Hanum dan Rangga bisa berangkat ke New York dan Washington DC namun dengan urusan yang berlainan.
Sesampainya di sana, tak disangka keduanya mengalami pengalaman yang menarik. Hanum yang bersikeras mencari nara sumbernya sendiri terseret dalam pusaran unjuk rasa yang sedang berdemo menentang pembangunan masjid di Ground Zero.
Di tengah arus unjuk rasa itulah Hanum akhirnya berjumpa dengan nara sumbernya yang berharga, seorang mualaf bernama Julia Collins alias Azima Hussein dan Michael Jones. Azima yang kehilangan suaminya Ibrahim Hussein dan Michael Jones yang ditinggalkan istrinya, Joanna sama-sama mengguratkan rasa sedih yang tak tersembuhkan. Keduanya merupakan korban tak langsung dari peristiwa 11 September. Di bagian ini Hanum dan Rangga sempat berpisah jalan sebelum akhirnya bertemu lagi.
Di tengah arus unjuk rasa itulah Hanum akhirnya berjumpa dengan nara sumbernya yang berharga, seorang mualaf bernama Julia Collins alias Azima Hussein dan Michael Jones. Azima yang kehilangan suaminya Ibrahim Hussein dan Michael Jones yang ditinggalkan istrinya, Joanna sama-sama mengguratkan rasa sedih yang tak tersembuhkan. Keduanya merupakan korban tak langsung dari peristiwa 11 September. Di bagian ini Hanum dan Rangga sempat berpisah jalan sebelum akhirnya bertemu lagi.
Dalam suatu acara bernama CNN TV Heroes, sang filantrophist Phillipus Brown akhirnya membeberkan berbagai tekanan yang ia rasakan selama bertahun-tahun sejak lolos dari peristiwa serangan teroris paling dahsyat, 9/11. Rupanya ia masih memiliki hutang yang belum ditunaikan dan dalam kesempatan itu ia mengaku terus terang bahwa hidupnya pernah diselamatkan oleh seorang muslim bernama Ibrahim Hussein yang tak lain adalah suami Azima sendiri.
Ulasan:
Kalau saja novel ini berupa kisah nyata, tentu bobot ceritanya sangatlah indah. Tapi bukan berarti tanpa itu cerita ini jadi hambar. Rangka cerita yang dibangun sangat kuat meski hanya berupa fiksi. Misi perdamaian yang diusung oleh penulisnya sangatlah mengena. Idenya sungguh menarik dibungkus dengan haru-biru kesedihan keluarga yang ditinggalkan. Kesan pertama dari judul yang terdengar bombastis ini, (Bulan Terbelah) pastilah akan mengundang rasa ingin tahu dan cepat-cepat ingin membacanya. Dan itu harus dikuatkan dengan isi kisah yang tentunya harus sepadan cita rasa bombastisnya. Gaya pengantar cerita yang sendiri-sendiri awalnya membuat saya kurang bisa memahami alurnya. Sehalaman kisah Hanum, sehalaman berikutnya kisah Rangga, membuat saya agak penat untuk merangkai jalan ceritanya. Namun seiring dengan perjalanan yang kian menemui ragam rahasia yang terungkap, lamban laun kisah yang ditemui semakin menukik dan berujung pada keharuan yang membuncah.
Harus diakui untuk membuat suatu kisah yang bertema religi merupakan sesuatu yang 'sulit'. Pangsa pasarnya adem-ayem saja dan tidak sampai meledak seperti halnya novel fiksi yang umum. Menurut saya setelah 99 Cahaya di Langit Eropa, pasangan Hanum dan Rangga telah mampu merengkuh publik dengan karya yang lebih spesifik sekaligus eksklusif. Suatu terobosan yang berani karena menjalin kisah antara pandangan muslim dan non muslim. Drama dibalik runtuhnya menara kembar WTC mungkin hanya segelintir saja yang tahu. Bahkan sampai saat ini belum ada satu pun film Hollywood yang mengorek drama tentang detik-detik terakhir tragedi gedung yang prestisius itu. Tapi novel ini mampu meramunya dengan baik dan terjalin mulus.
Satu hal yang mengganggu dari novel ini hanyalah saat Phillipus berceramah. Dalam menangkap momen sedih rasanya tidak perlu dicengeng-cengengkan alias tak perlu berlebihan. Secukupnya saja. Dari sini pun kita telah tahu bahwa misi perdamaian telah tersampaikan dengan lembut. Dan tak lama lagi film dengan judul yang sama akan segera dirilis (Desember mungkin?)
Terkadang kita memang tak adil pada hidup kita sendiri, tatkala tiada pilihan kita menggerutu. Padahal Tuhan tak memberi pilihan lain karena telah menunjukkan itulah satu-satunya pilihan terbaik bagi hidup kita (hal.184)
Tidak ada komentar: