Ayah
Andrea Hirata
Bentang Pustaka, 412 hal
IIBF (Indonesia International Book Fair)- JHCC
Sinopsis:
Sabari adalah sosok pria sederhana, naif, lugu namun bertekad kuat. Pertemuannya dengan Marlena membuat hidupnya berubah total. Ia terobsesi oleh sosok Marlena. Di matanya hanya wanita itulah yang sangat tepat untuk bersanding dengan dirinya. Segala cara ditempuh untuk mendekatkannya dengan wanita itu.
Meski kedua sahabatnya Tamat dan Ukun telah mengingatkannya untuk tidak terlalu berharap, namun takdir berpihak pada lelaki keriting ini. Sabari berhasil menikahi Marlena. Dan kebahagiaan semakin hangat dengan hadirnya seorang putra bernama Zorro.
Namun Zorro dan Sabari harus berpisah cukup lama dan dengan kesabaran yang takarannya tak terbatas, akhirnya Sabari menemukan kembali permata hatinya yang hilang.
Ulasan:
Memahami kata dan kalimat yang tertulis di buku ini seakan kita diajak berlayar ke negeri Melayu yang puitis dan berirama seperti pantun. Setelah lama tak menulis, kali ini pengarang menuangkan sebuah ide tentang pengabdian dan kasih sayang seorang Ayah. Awalnya saya mengira ini tentang kisah ayahnya sendiri. Namun ternyata kisah tentang Sabari sebagai sosok pria yang sedari bujangan hingga menjadi seorang Ayah dan mengalami jatuh bangun dalam mencari anaknya yang hilang adalah hal paling menarik di kisah ini.
Ada semacam kaitan emosi dan dualisme saat membaca novel ini. Di satu sisi ingin rasanya berakhir dengan tidak kembalinya Zorro ke hadapan Ayahnya, namun di sisi lain ketika Zorro kembali mungkin akan ada rentetan kisah yang lebih seru lagi.
Dan saat saya menelusurinya, memang ada plot lain semisal surat dalam botol yang nyasar hingga ke Darwin dan terbaca oleh nelayan Aborigin, Niel Wuruninga ( Indonesia Lonely Man). Atau pencarian yang dilakukan Ukun dan Tamat demi mempertemukan Sabari dan anaknya berdasarkan informasi para sahabat pena Marlena (Bahasa Indonesia).
Kedua sisi itu saling bermunculan ditampilkan sehingga saya pribadi membacanya menjadi ikut was-was. Apakah pertemuan itu terjadi atau tidak? Apakah segala persiapan yang dilakukan Sabari dalam menyambut kepulangan Zorro terbayar sempurna atau tidak? Apakah Sabari akan kecewa?
Saya suka dengan gaya penceritaan seperti ini. Ada plot tertentu yang membuat kita betah mengikuti jalan ceritanya. Sesekali kita tertawa ngakak oleh keluguan para tokoh ini. Tertawa oleh karena di zaman ini masih saja ada orang yang naif dan apa adanya.
Sebagai sebuah fiksi, novel ini justru menampilkan kenyataan dan ironi namun dibungkus dengan manis dan ringan. Kita lihat soal hobi korespodensi yang saat ini mungkin hanya tinggal kenangan namun ternyata cukup membawa andil yang besar untuk memulangkan Zorro. Adakah yang masih menekuni hobi ini?
Bagi Andrea, tiada yang lebih menakjubkan untuk dijadikan latar selain Belitong. Seisi penghuni pulau ini selalu menjadi objek yang tak luput diceritakan. Bahkan tukang pos pun ikut senang dengan kepulangan Zorro.
Manis bukan kisahnya?
Tidak ada komentar: