Sejak beberapa waktu sebelumnya, beberapa penerbit buku diantaranya Gramedia punya semacam kegiatan yang boleh saya sebut sebagai recover novel atau cetak ulang sebuah buku. Jadi buku atau novel yang sudah lama dan pernah diterbitkan, dirilis lagi dengan menggunakan sentuhan baru di antaranya melalui penggantian sampul buku yang lebih menarik.
Pertimbangannya dengan sampul yang segar dan menarik, maka akan lebih mendongkrak penjualan novel itu. Sebagai konsumen, ini merupakan trik marketing yang menarik. Namun kadang penggantian sampul buku selalu membuat kita yang 'lengah' ini jadi tertipu oleh tampilan baru ini.
Maksudnya lengah di sini adalah sebenarnya kalau kita perhatikan secara saksama ini adalah buku lama yang mungkin saja sudah pernah kita beli dan baca beberapa tahun sebelumnya. Namun karena lupa kita akhirnya membelinya karena terpikat oleh daya tarik sampul baru. Setelah di rumah barulah sadar bahwa ini adalah buku dengan isi cerita dan tema yang persis sama dengan yang pernah kita beli.
Itu mungkin kekurangannya. Saya bahkan beberapa kali tertipu karena ya, lupa itu penyebabnya. Saya pernah membeli novel Sherlock dengan sampul baru, padahal dulu saya sudah pernah memilikinya. Pernah juga membeli novel Mira W. Tahu kan novel Mira W? Desainnya selalu berupa bunga, di mana sulit sekali mengingat isi cerita apalagi bila mengandalkan hanya dari desain bunga yang bermacam-macam itu.
Karena saya menyangka ada novel baru, maka dibelilah novel ini. Sesampai di rumah ternyata saya sudah punya bukunya sejak zaman SMA 😀 Jadinya kita mengoleksi dua novel dengan judul yang sama. Kerugian atau keuntungan ya?
Sesungguhnya sampul baru dan sampul lama sama pentingnya. Sampul baru memberi kesegaran dan daya tarik yang mengikuti zaman. Sedangkan sampul lama lebih kepada nostalgia dan kenangan saat membelinya.
Cuma, daya ingat ini yang tak sepenuhnya mendukung dan menimbulkan rancu. Seperti kasus beberapa hari lalu ketika saya melihat di tumpukan buku kategori Best Sellers, ada buku karangan A. Fuadi. Memang saya pernah dengar A.Fuadi mengeluarkan novel baru namun sayangnya saya lupa apa judulnya.
Saat di toko buku saya sempat terpaku sejenak untuk mengingat-ingat apakah buku ini pernah saya miliki atau belum. Sekilas ini seperti novel baru karena sampulnya memang belum pernah lihat. Saya nyaris membelinya kalau tidak ingat bahwa judul ini adalah bagian dari trilogi itu. Rupanya novel A.Fuadi ini juga terkena wabah recover juga.
Belakangan baru saya tahu judul baru dari novel A. Fuadi adalah Anak Rantau. Dan gambar sampulnya jauh dari yang di recover tsb.
Yang lebih unik lagi adalah novel Harry Potter. Saya merasa ada ikatan emosional dengan novel-novelnya sehingga ketika sampulnya diganti yang menurut saya jadi 'aneh' itu, saya merasa kasihan sekali dengan generasi yang membeli novel dengan sampul terkini saat ini. Karena dalam pandangan saya, sampul Harry Potter justru lebih bagus yang versi lama, sedangkan yang baru terasa abstrak, dan sulit fokus.
Saya pribadi malah kudu memicingkan mata untuk melihat tulisan judulnya. Terlalu rumit dan kurang bersahabat dengan mata. Dan seakan seluruh tokoh perlu dijejalkan dalam sampul ini.
Suka atau tidak, sampul buku memang menjadi faktor kunci dan berperanan penting dalam melariskan suatu buku. Tim riset, marketing dan desain adalah mereka yang harus memeras otak agar sampul buku bisa diterima masyarakat. Namun, kalau digonta-ganti ya, repot juga 😓
Ini masalah selera sih jadi gak bisa disamaratakan juga. Mungkin dengan dirilis dahulu konsepnya melalui sosial media dan mengajak pembacanya memilih mana yang lebih menarik akan menjadi solusi yang mencerahkan agar tidak ada yang saling kecewa dan sama-sama menguntungkan.
Mengapa kebanyakan yang mengalami recover adalah buku fiksi? Mungkin jawabannya bisa dilihat dari grafik kenaikan penjualannya yang lebih tinggi dibandingkan buku yang non fiksi. Itu sih analisis saya.
Jadi? Lebih suka yang mana, sampul versi lama atau baru?
Tidak ada komentar: