Orang-Orang Biasa
Andrea Hirata,
Bentang Pustaka, 312 hal
Gramedia, Gancit
Sinopsis:
Karena ikatan pertemanan yang kuat dan dirintis sejak masih sama-sama duduk di bangku sekolah, kesepuluh sahabat yang lamban berpikir itu yakni Debut, Junilah, Nihe, Tohirin, Salud, Dinah, Honorun, Sobri, Handai dan Rusip akhirnya kompak untuk melakukan suatu gebrakan yang tak akan dilupakan seumur hidup bagi mereka yaitu merampok bank.
Apa yang melatar belakangi mereka ingin merampok bank? Karena anak Dinah yang bernama Aini lolos diterima di fakultas Kedokteran universitas negeri. Biaya masuknya bikin pingsan Dinah saat mendengarnya, dan sebagai teman yang baik sepuluh sekawan ini akan berjuang mencari uang entah bagaimanapun caranya, termasuk merampok bank di kota Belantik yang tenang itu.
Kesepuluh sahabat yang belum dan tak pernah merampok ini harus berkali-kali melakukan rapat agar berhasil dan lancar. Beberapa kali pula mereka mengadakan latihan dan simulasi, beberapa kali pula merasa gamang dan bimbang akan akibat yang nanti akan dipikul seandainya gagal dalam bertindak dan tak sesuai rencana.
Sementara itu Inspektur Abdul Rojali dan polisi muda bernama Sersan P. Arbi telah mendapat bisikan dari informan yang tak bertanggung jawab bahwa dalam waktu dekat akan ada perampokan. Namun entah di mana peristiwa itu akan terjadi. Semuanya masih samar-samar.
Ulasan:
Inilah cerita Andrea Hirata yang terbaru yang menurut saya seperti cerita di warung kopi saja layaknya, karena kisah yang dibeberkan dapat saya selesaikan dalam tempo yang sangat cepat untuk ukuran sebuah novel. Entahlah, saya merasa kisah yang tertulis dalam novel seakan dituturkan oleh mulut pelanggan yang sedang menyesap kopi di warung dan saya tekun duduk bermenit-menit mendengar di sampingnya.
Sempat saya baca pendapat orang yang mengatakan bahwa novel ini hanya mempertontonkan keberhasilan buku rilisan sebelumnya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa lain alias, hanya sebagai wadah untuk pamer dan narsis saja.
Pendapat itu bisa benar bisa salah. Benar, karena sesungguhnya novel Orang-Orang Biasa ini hanya membutuhkan 262 halaman saja sementara sisanya penuh dengan berlembar-lembar promosi buku-buku terbitan yang dibuat oleh Andrea sebelumnya. Salah, karena ceritanya berbobot, (masih) lucu, jenaka dan mengandung sindiran tajam terhadap institusi tertentu.
Membuat Teka-Teki
Kisah yang dituturkan tetap khas seorang Andrea, yang mengangkat orang-orang yang biasa saja namun memiliki kemampuan luar biasa. Perhatikan bagaimana Andrea mengaduk-ngaduk dialog antar sesama teman yang sama bodoh dan pandirnya di Kios Buku Heroik milik Debut, atau simak dialog di warung Kupi Kuli antara informan Dragonudin dengan kelompok Mul yang lucu karena Dragon sedianya ingin menyadap pembicaraan tentang rencana perampokan namun justru malah diajari cara merekam pembicaraan oleh kelompok perampok yang kabarnya sangat bengis ini.
Alur kisahnya sangat menarik karena ada plot twist yang dalam melakukan perampokan sebenarnya pembaca tak hanya disuguhkan alur tentang aktivitas tim Debut saja, namun juga alur lainnya yang cukup membuat teka-teki namun mengandung suatu pemahaman bahwa perampokan ini tidak main-main dan di balik itu ada konspirasi yang sangat cerdas bin brilian.
Jauh dari Heroik
Bagaimana sebuah rencana perampokan bisa dikaitkan dengan kiriman 1.000 topeng monyet yang diterima oleh Guru Akhirudin adalah suatu misteri bagi Inspektur Abdul Rojali yang hingga, nantinya terkuak dengan gamblangnya sebuah aksi yang bikin jeri dan jauh dari heroik itu.
Kalau pernah menonton film Fast Five, nah, seperti itulah kira-kira penggambaran mereka yang ingin merampok, lengkap dengan observasi dan rencana cadangannya. Jika menonton perampokan dalam film itu kita merasa takjub, kagum, senang dan puas. Maka sebaliknya saat mendengar Debut cs akan merampok perasaan pembaca seperti saya adalah dag dig dug, cemas sekaligus gemas karena menyadari mereka amatir semua.
Cerita tentang jenakanya para tokoh yang diangkat oleh Andrea bukan baru kali ini. Dalam novel sebelumnya pembaca terbahak-bahak dibuatnya. Sedangkan yang ini, ketololan demi ketololan begitu vulgar digambarkan di novel ini sehingga kita akan bertanya dalam hati, adakah orang-orang biasa dengan kepandiran kelas wahid seperti mereka hidup di negeri ini?
(Baca: Sirkus Pohon, Jenakanya Warga Tanjong Lantai)
Puncak dari berbagai kasak-kusuk adalah datangnya hari perampokan yang bersamaan dengan pawai 17-an. Sudah bisa diduga Andrea takkan membuat pembacanya senang dengan kesuksesan yang terlalu dini. Pengarang memunculkan kembali perasaan gundah, ketakutan yang akut akan masuk penjara dan berbagai keraguan yang menghinggapi sebagian anggota perampok.
Sebagaimana orang biasa yang hidupnya lurus, maka untuk melenceng apalagi melanggar hukum pun rupanya kesepuluh sekawan ini masih memliki perhitungan yang pintar dalam menimbang-nimbang antara merampok, masuk penjara atau tidak jadi merampok.
Masih Lucu
Di luar semua itu, novel ini cukup ringan dalam menggambarkan situasi. Aksi para warga, penegak hukum serta para perampok tulen-nya diceritakan dengan kondisi yang cukup membuat kita tersenyum geli karena apabila kita membayangkannya ke dalam dunia nyata, entah apa jadinya. Masih lucu ataukah malah hambar?
Polah para tokoh lainnya seperti Inspektur yang selalu memiripkan diri dengan bintang pujaannya Shah Rukh Khan, aksinya dalam mengejar penjahat yang perlu mengengkol motor sebanyak 18 kali, atau majikan Aini yang selalu menanyakan berapa penghasilan Aini setiap hari selama ia menjadi pelayan di warung kopi diam-diam memancing kelucuan tersendiri.
Novel yang indah tak perlu tebal yang terpenting berbobot dalam penyampaian pesan dengan misi yang berhasil diantarkan. Bahwa seorang anak yang dianggap bodoh bila terus menerus tekun berusaha dan belajar demi menggapai cita-cta maka akan tercapailah kepandaian itu. Meskipun untuk mengumpulkan dana harus dikerahkan dengan berbagai cara, namun hak memperoleh pendidikan hendaknya jangan sampai hilang. Salut buat Aini.
Tetralogi Laskar Pelangi pun benar2 mengaduk perasaan.
BalasHapus