Memang Jodoh
Marah Rusli
Penerbit Qanita
Big Bad Wolf 2019 🐺
Sinopsis:
Hamli yang sedang gundah dengan kelanjutan pendidikannya akhirnya menjatuhkan pilihan untuk pergi ke Jawa tepatnya ke daerah Priangan dan menuntut ilmu di sana. Tak disangka di tempat itu ia bertemu dengan seorang wanita bernama Din Wati yang membuatnya mantap untuk menikahinya.
Meskipun sadar bahwa dirinya telah melanggar adat dari para tetua adat di kampung halamannya, Hamli bertekad untuk tetap setia dan memegang teguh kesetiaannya terhadap Din Wati. Meskipun telah menikah Hamli masih selalu saja disodori wanita-wanita lain dari pihak kerabat Minangkabaunya untuk dijadikan istri kedua. Hanya dengan tekad yang kuat untuk tidak berpoligami dan kesetiaanlah, Hamli mampu mengatasi pergumulan hatinya akan adat beserta aturan-aturannya yang cukup mengikat itu.
Ulasan:
Perkawinan rupanya pernah menjadi hal yang super pelik di kehidupan seorang sastrawan besar Indonesia bernama Marah Rusli. Hal yang tidak saya duga adalah pengarang ini menulis sebuah kisah yang disebut-sebut sebagai semiautobiografi dan penuh memaparkan masalah yang lebih berat yakni, pernikahan dan adat tentang perjodohan.
Saya terkesan dengan kepribadian dari tokoh Hamli ini. Kalau memang Hamli adalah perwakilan dari seorang Marah Rusli, maka betapa berat masalah yang dihadapi dan betapa sangat membelenggu sekali aturan tentang perjodohan dan adat yang diterapkan pada masa itu.
Ninik Mamak
Novel ini bercerita tentang perjuangan suami istri yang begitu tegar dan gigih dalam menghadapi berbagai godaan terutama dari pihak kerabat Minangkabau yang memaksa Hamli agar beristrikan orang dari suku yang sama. Dituturkan dengan begitu jelas, rinci dan tanpa ada simbol-simbol tertentu, Memang Jodoh adalah curahan hati seorang pria biasa yang dengan sederhananya mampu membalikkan semua dan melawan segala kehendak sekelompok Ninik Mamak yang tak setuju bermenantukan seseorang yang tidak sesuku.
Adat yang telah tertanam selama ratusan tahun dengan gamblangnya dibuka dan ditentang melalui senjata terbaik yang dimiliki oleh Marah Rusli berupa sebuah novel roman yang sangat penting. Generasi saat ini yang hanya tahu tentang kawin paksa ala Sitti Nurbaya mungkin hanya sekadar tahu bahwa pada masa dahulu ada masalah perkawinan yang membungkam laki-laki dalam menentukan jodohnya.
Ternyata selain masalah kawin paksa, masih ada perkara yang lebih penting bahkan menjadi awal pencerahan dari sekian hal tentang perjodohan.
Hopjaksa
Kalau saya baca isi ceritanya, alurnya mirip-mirip dengan cerita novel yang disampaikan oleh Remy Sylado. Ada pertemuan, pertikaian, intrik-intrik dan munculnya orang-orang jahat yang ingin menggagalkan keharmonisan entah rumah tangga, persahabatan, jabatan, dll lalu ditutup dengan kelegaan karena badai telah berlalu. Ditambah lagi dengan berbagai istilah khas Melayu seperti Hopjaksa, surat kawat, yang makin menandaskan adanya masa lampau.
Meskipun disebut semi autobiografi, namun saat membacanya, kesan yang tersirat adalah benar-benar sosok Marah Rusli sendiri yang berjibaku menentang perjodohan. Novel ini tak hanya menceritakan jodoh saja tapi karir seorang Hamli yang bekerja berpindah-pindah tempat sesuai dengan perintah atasan yang masih dipegang oleh orang Belanda.
Lewat karir yang ditekuni Hamli di Jawatan Pertanian ini seolah kita dapat menelusuri masa lalu di mana kondisi pekerjaan masih didominasi oleh Pemerintah yang nota bene masih diisi oleh sebagian orang Belanda. Sisa-sisa superioritas dari penjajah masih terekam dalam hal penunjukan tempat dan pemindahan kerja yang semena-mena semisal ke pulau Sumbawa, Jakarta, Sukabumi, atau Semarang. Latar kisah ini memang di sekitar tahun 1900-an.
Terlepas dari itu semua, novel ini menurut saya indah dan inspiratif dengan tutur kata yang halus khas Melayu lama dan memberikan semacam uraian bahwa masa lalu adat istiadat suatu suku bangsa begitu kuatnya sehingga harus dikerahkan dengan segala cara agar tercapai tujuannya.
Rela Dibuang
Novel ini merupakan perwujudan cinta sejati Marah Rusli dengan sang istri Raden Ratna Kencana yang telah ditakdirkan berjodoh dan tak bisa dengan mudahnya dipisahkan begitu saja hanya karena Raden Ratna bukanlah Urang Awak ( sesama suku Padang). Akibatnya, pengarang ini rela dibuang dari adat Minang dengan konsekuensi tidak mendapatkan hak waris dan tidak menyandang nama keturunannya.
"Dan jika perkawinan Din Wati ini akan memberi aib nama dan turunan kita serta mencelakaan kemenakan kita, harus kita halangi. Jika tak dapat dengan jalan yang baik, apa boleh buat dengan kekerasan kita lakukan." hal 207
Rupanya meskipun keduanya merupakan keturunan bangsawan, tetap saja mereka tak luput dari adat dan istiadat. Dan merupakan suatu keberhasilan besar pada akhirnya menyaksikan Marah Rusli sang bangsawan mampu melawan sekaligus mendobrak tatanan perjodohan.
Sebagai novel lama yang menyuarakan kawin paksa, saya tak melihat adanya kegetiran, kepedihan atau patah semangat dalam menjalani biduk rumah tangga. Sebaliknya, justru ada rasa optimis, keyakinan bahwa Din Wati memang jodoh Hamli yang tak bisa dicerai beraikan lagi serta tekad kuat menjalani hidup bersama sampai mati. Ada kelebihan juga ada kekurangan. Novel ini hanya memfokuskan pada sang penulis sementara Din Wati kurang ditelaah lebih dalam lagi. Tak apalah, dengan membaca Memang Jodoh kita menjadi tahu gambaran peran seorang istri kala itu.
Menarik karena isu sosial yang terkandung dan menjadi latar belakang kisah ini saling berkelindan antara peristiwa romansa, pekerjaan Hamli dan tak kalah penting kisah cinta itu sendiri. Pelajaran yang bisa kita ambil adalah rintangan apa pun bila dihadapi berdua niscaya akan bisa dilewati. Memang Jodoh bisa menjadi novel pilihan setelah membaca Sitti Nurbaya yang hits itu.
Tidak ada komentar: