Andrea Hirata
Bentang Pustaka, 336 hal
Gramedia Gancit,
Sinopsis:
Dengan idealismenya yang tinggi, Desi Istiqomah memutuskan untuk mengabdi menjadi seorang guru matematika di sebuah tempat yang terpencil dan pelosok sekali bernama Kampung Ketumbi. Tidak ia sangka di tempat mengajar ini ia akan berjumpa dengan sosok murid yang sama eksentriknya dengan dirinya.
Dalam mengejar cita-citanya yang luhur untuk menjadi seorang dokter, Aini berjuang menembus batas kebodohan yang melingkupi otaknya dengan tak bosan-bosannya menerima bentakan dan umpatan dari Bu Guru Desi. Jerih payah Aini akhirnya tak sia-sia, murid yang ingin sekali menjadi dokter agar bisa menyembuhkan penyakit ayahnya ini mampu mengimbangi teman-temannya yang lebih pintar dan membuktikan pada Bu Guru Desi bahwa ia bisa mempelajari ilmu tersulit, matematika.
Ulasan:
Saat berjalan di antara rak-rak toko buku, mata saya tertumbuk pada novel ini. Jujur saya kaget karena setelah novelnya yang terakhir setahun lalu, para pembacanya (termasuk saya) tidak mengira akan ada novel anyar lagi dan hadir ke tengah-tengah kita di masa pandemi ini.
Ternyata ada maksud dibalik perilisan sebuah novel istimewa seperti ini yakni untuk menyambut cetakan ke-50 novel fenomenal, Laskar Pelangi yang sukses diterbitkan ke dalam berbagai bahasa asing. Selain juga untuk menyambung kisah dari novel sebelumnya yang berjudul Orang-Orang Biasa, yakni petualangan Aini yang bertemu dengan Bu Guru Desi.
Tema yang diusung yakni masih soal pendidikan dan mengisahkan bagaimana pengabdian seorang guru menemui tantangannya dalam mendapatkan si anak emasnya (baca: murid bebal) yang begitu sulit namun akhirnya tercapai juga dengan segala centang perenangnya situasi kondisi yang melingkupi.
Meskipun bercerita tentang keterbatasan baik kemiskinan maupun pendidikan, namun pengarang tetap menyisipkan situasi cerita yang ringan, dramatis namun berlogika, jenaka, dengan dialog yang apa adanya khas masyarakat Tanjong Hampar serta menjawab pertanyaan apa yang terjadi dibalik Aini yang sangat bersikeras ingin menjadi seorang dokter.
Matematika adalah Ilmu Pasti
Sejak pertama kalinya mulai menginjakkan kaki di sekolah, sejak itulah kita dipaksa untuk berkenalan dengan mata pelajaran yang maha sulit ini, matematika. Suka tidak suka, mau tak mau murid harus bersedia untuk mengorbankan waktu belajarnya mengulik ilmu yang sangat dibenci karena tingkat kesulitannya. Bagi si pintar, tak masalah. Namun bagaimana dengan si bebal?
Dalam Guru Aini, tak hanya persoalan matematika yang dikupas namun interaksi antara guru dan murid inilah yang ingin digambarkan dengan penuh kedahsyatan dalam rangka menggali rahasia ilmu matematika itu sendiri dan juga mengapa bisa menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian murid.
Hanya ada dua tokoh yang sangat dominan dalam novel ini, Bu Guru Desi dan sang murid Aini. Tokoh lainnya hanyalah pelengkap yang merupakan kawan-kawan bagi mereka berdua. Kawan Guru Desi, kawan Aini, kawan Dinah (ibu Aini) dan...Debut Awaludin sang jenius matematika yang sengaja mencampakkan harapan Guru Desi.
Sebenarnya apa yang coba ditangkap dari kisah ini adalah bukan tentang belajar matematikanya. Namun kegigihan dan bagaimana caranya untuk mencintai ilmu dan menaklukkan mental yang ketakutan dalam belajar matematika. Ilmu ini sudah menjadi momok ratusan tahun bagi murid di seluruh dunia dan ya benar, belajar matematika memerlukan mental kuat dan keberanian yang luar biasa.
Mempelajari matematika tak lepas dari pemahaman dan bukan hanya sekadar menghapal seluruh rumus. Apalagi bagi Guru Desi dengan idealismenya yang tinggi dan semangatnya yang meluap-luap akan ilmu matematika yang ingin diajarkannya, ternyata sedikit banyak menemui kesulitan dalam mengajari anak-anak dengan otak yang pas-pasan.
Matematika adalah ilmu pasti namun untuk mentransfernya ke dalam otak masing-masing anak diperlukan alat yang lebih dari sekadar kepastian.
Masih Setia
Gaya penceritaan Andrea Hirata tetap tidak berubah, masih sama dengan novel-novel sebelumnya yang sarat akan sindiran halus, lemparan lelucon yang jenaka sekaligus miris, dan dialog yang bernas nan lugu.
"Maksudnya mau dipanggil Ibu Desi, Ibu Istiqomah, Ibu Isti, atau mungkin...Ibu Qomqom." hal. 37
Pengarang masih setia untuk selalu mengangkat kehidupan di seputar tempat kelahirannya yang direpresentasikan melalui gerak hidup para warga Tanjong Hampar berikut deskripsi yang menggambarkan situasi sehari-hari di sana.
Menurut saya membaca novel ini tak perlu mengernyitkan kening karena masalah ini sangat umum dan dapat diterima. Atau kalau lebih jelasnya, temanya terlalu biasa sekali. Namun di tangan pengarang, kisah Guru Desi dan Aini menjadi begitu menarik dan nyata adanya.
Perjuangan selalu mewarnai kedua tokoh ini. Di sini diceritakan bagaimana Guru Desi harus melakukan perjalanan panjang dan melelahkan sebelum sampai di Kampung Ketumbi dengan menaiki kapal laut, terombang-ambing, terserang mabuk laut dan menumpang bus berjam-jam. Atau bagaimana Aini yang babak belur terus maju pantang mundur untuk mempelajari matematik lalu menemukan jalannya hanya dengan memahami Kalkulus.
" Seribu bala tentara tak dapat mencegah anak itu...mereka yang ingin belajar tak bisa diusir" hal.174
Begitu bebalnya Aini sehingga membuat pembaca merasa gregetan, entah harus jatuh kasihan ataukah jengkel. Dan menurut saya pengarang cukup berhasil membangun imaji dan emosi di antara keduanya.
Selain mampu menyalakan semangat dalam mengajar dan belajar matematika, novel ini toh juga punya kekurangan ( kalau bisa dikatakan demikian). Akhir cerita ini terasa kurang 'nendang'. Ketika sedang asyik-asyiknya menikmati keberhasilan Aini yang akhirnya mampu menaklukkan dirinya yang takut matematika dan lolos tes ujian masuk fakultas Kedokteran, di situlah pengarang memainkan haknya. Kisah Guru Aini dihentikan begitu saja alias nggantung.
Hal kecil namun cukup mengganggu adalah ternyata novel ini tebalnya hanya sampai 294 halaman. Sisanya sebanyak 21 halaman penuh berisi katalog keberhasilan cetak ulang buku-buku terbitan sang pengarang yang diterjemahkan ke berbagai bahasa. Terkesan ramai.
Pada akhirnya novel sederhana dan biasa ternyata mampu menjadi luar biasa salah satunya karena ditunjang oleh kepiawaian pengarang dalam mengolah cerita. Cukup menghibur. Itu saja.
Tidak ada komentar: