Ronggeng Dukuh Paruk
Ahmad Tohari
Gramedia Pustaka Utama, 406 hal
Gramedia, Gandaria City
Sinopsis:
Setelah ditinggal mati kedua orang tuanya akibat keracunan tempe bongkrek, Srintil akhirnya diasuh kakeknya, Sakarya. Melalui polesan dukun ronggeng pasangan suami istri Kartareja, bakat menari yang telah menonjol sedari kecil itu telah mengantar gadis ini menjadi seorang penari ronggeng ternama di Dukuh Paruk dan wilayah Dawuan pada umumnya.
Meskipun telah menjadi ronggeng terkenal, Srintil tetaplah seorang dara remaja yang memiliki perasaan khusus dan masih tetap menyimpan rasa sukanya pada teman semasa kecilnya, Rasus. Pemuda yang sehari-hari menggembala kambing ini bukannya tidak paham akan rasa kasih itu namun dorongan untuk mengubah desa yang terkenal miring sebagai dusun penghasil ronggeng itu menariknya untuk menghindar jauh-jauh dan mengabdi sebagai tentara.
Saat meletus pergolakan pada 1965, Dukuh Paruk ikut terkena imbasnya dan terseret ke dalam intrik politik. Srintil dan para penduduk Dukuh Paruk ditahan dan disangka menjadi antek-antek PKI. Namun seiring waktu berjalan, tuduhan itu tidak terbukti. Meskipun pada akhirnya nama ronggeng menjadi kian tersuruk bahkan pamor Srintil kian redup.
Hari-hari terakhir kehidupan Srintil dan Rasus menjadi semakin tak tentu arah akibat kebimbangan perasaan keduanya. Malapetaka tak bisa dihindari. Srintil akhirnya berhasil ditemani lagi oleh Rasus dalam situasi yang sangat berbeda dan tak pernah diperkirakan.
Ulasan:
Isi novel ini mengingatkan pada cerita-cerita tentang akar rumput dan suasana desa penuh kedamaian. Meskipun ini novel lama yang diterbitkan pada tahun 80-an, namun esensi ceritanya tetap relevan dengan situasi dan kondisi saat ini. Cerita ini sepenuhnya fiksi namun dibalut oleh berbagai kenyataan sekitar prahara kekalutan pada 1965. Dan saya rasa inilah yang menjadi daya tarik lebih dari novel ini.
Novel ini merupakan penyatuan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini hari dan Jantera Bianglala. Tiap bagian judul ini menampilkan berbagai perubahan fisik Dukuh Paruk dari situasi yang hingar bingar hingga menjadi dukuh yang porak poranda akibat permainan politik yang tanpa disadari, telah menyeret para penghuninya ke jurang kegetiran.
Meskipun ada kesedihan, pedukuhan yang kusam dan terisolir dari dunia lain ini sebenarnya telah menjadi pemikat dan memiliki daya tarik. Gaya penceritaan yang langsung tanpa tedeng aling-aling, apa adanya, ditambah kebersahajaan para penghuni dukuh telah membuat kita paham bahwa Srintil dan dukuh Paruk adalah satu kesatuan. Selain diyakini telah memiliki indang (ruh penari), Srintil nyatanya telah berbakat dalam menari meskipun belum diberi aji pengasihan oleh Kartareja, sang dukun ronggeng. Dukuh paruk telah memberi tempat yang sangat menguntungkan bagi Srintil yang telah ditinggal mati Santayib, si penjual tempe bongkrek untuk mementaskan diri.
Membaca novel ini kita akan terkesima dengan cara pengarang yang mampu menggambarkan suasana muram atau pun kegembiraan di dukuh Paruk. Semuanya tercakup dalam polesan kata-kata yang anggun, sederhana, dan menyinggung berbagai aspek kehidupan. Mulai dari perasaan Srintil yang tak pernah padam terhadap Rasus, kegigihan Nyai Kartareja yang selalu menawarkan Srintil untuk diajak pergi oleh pria-pria kesepian atau tentang sepasang burung madu yang menari di atas langit dukuh dengan jangkrik yang mengendap-endap dan melompati rumput-rumput. Deskriptif sekali.
Selain bercerita tentang Dukuh dan Srintil, Rasus pun ikut masuk ke dalam pusaran permasalahan. Ia yang selalu merindukan Emak seakan seluruh wujud perempuan dipersonifikasikan sebagai sosok Emak. Lalu ada Sakum si penabuh calung yang buta yang justru memiliki kelebihan dalam mengendus rasa antara Rasus dengan Srintil. Begitu kompletnya.
Di novel pertama dan kedua, kehidupan dukuh Paruk begitu gemerlap. Beberapa kali kru pemain ronggeng diundang ke mana-mana seakan tak berkesudahan. Alur kisah kian menukik tajam begitu kita sampai di novel ketiga. Berbagai godaan untuk kembali menjadi ronggeng mampu ditepis oleh Srintil hingga akhirnya ia jatuh terjerembab dalam kesedihan.
Tragis dan nelangsa. Srintil tak bisa membebaskan diri dari perasaan tidak layak menerima kesejatian. Begitulah. Ibarat bawang, novel ini memiliki lapis demi lapis yang makin dikupas makin terlihat betapa menyedihkannya penari dan dukuh Paruk. Tekanan kian menghunjam dan mana kala setitik harapan itu tumbuh dari seorang mandor proyek bernama Bajus, harkat martabat yang awalnya bangkit menggeliat akhirnya runtuh seiring kenyataan bahwa Srintil adalah mantan penari ronggeng yang sejujurnya adalah wanita yang butuh pendamping juga.
"Kini tak ada lagi pesona, tidak juga kecantikan. Kemanusiaannya tinggal tersisa berupa sosok dan nama. Selebihnya adalah citra hewani. Citra makhluk tanpa akal budi" hal. 386
Kisah yang sedih namun memiliki ruang-ruang untuk memperjuangkan harkat wanita dan juga penyesalan terhadap takdir yang dicoba untuk dilawan. Sebagai novel yang lahir di era 80-an dan penuh dengan hasrat yang tak langsung dalam menyampaikan sebuah pesan, kemunculannya kembali di masa kini mampu menjadi pengingat bahwa kisah sang penari adalah benar adanya, meskipun berupa fiksi.
Tidak ada komentar: