Tokyo & Perayaan Kesedihan
Ruth Priscilia Angelina
Gramedia Pustaka Utama, 192 hal
e-book Gramedia Digital
Sinopsis
Angan-angan Shira Hidajat Nagano untuk mengunjungi Tokyo mungkin sangat bertolak belakang dari kebanyakan orang yang hendak berlibur ke sana. Ia hanya ingin pergi menjauh dari segala tuntutan hidup yang menderanya baik dari sahabat atau kejadian-kejadian traumatik lainnya terutama perintah-perintah yang selalu didengung-dengungkan oleh Mama. Ia ingin sendirian dan meraih kebebasan dengan membuang kesedihan yang bertumpuk-tumpuk kalau bisa.
Keinginan untuk sendiri setidaknya melenceng dari rencana saat ia bertemu dengan pemuda pemain biola berkaca mata bernama Joshua yang memberinya tiket masuk untuk menyaksikan resital pertunjukkannya. Pertemuan dan perbincangan menjadi acara mereka berdua dan menyadarkan Shira bahwa selama ini ia terlalu menenggang perasaan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Ia terlalu peduli dengan sekitarnya sehingga abai dengan kondisi jiwanya sendiri yang rapuh dan rentan untuk hancur.
Sementara Joshua sendiri juga memiliki permasalahannya sendiri. Terlahir sebagai anak yang manipulatif membuatnya tahu ciri-ciri orang yang sedang berbohong. Dan Shira adalah perempuan yang tidak berhasil ia tebak pribadinya.
Ulasan
(Baca: Beradaptasi dengan Covid19#Jurnal02)
Kesempatan langka ini tak mungkin disia-siakan. Langsung gerak cepat dan akhirnya terunduhlah beberapa novel yang menurut saya menarik untuk dibaca. Salah satunya adalah novel ini, Tokyo & Perayaan Kesedihan. Jujur, baru kali ini saya membaca novel bernuansa sedih dan muram begini. Biasanya tema yang selalu saya baca kalau gak drama komedi, keluarga ya biografi, atau mentok-mentoknya tentang percintaan.
Membaca kedua tokoh yang sama-sama merasa sedih namun saling menguatkan adalah tipikal cerita yang biasa saja. Apalagi jika pelakunya adalah makhluk-makhluk milenial yang serba galau, melow, putus asa dan seakan sudah berada di tepi jurang lalu tinggal terjun bebas.
Konseling
Hanya terdiri dari dua tokoh saja yang mengisi di sepanjang novel, namun isi hati keduanya mampu menyadarkan dan membuat pembaca ikut larut akan keluh kesah dari keduanya. Ceritanya memang ringan dan bukan hal yang baru karena saya berhasil membacanya dalam waktu 5 jam saja. Namun isinya ternyata sangat berbobot dan tidak monoton. Ada semacam pendekatan psikologi dan uraian-uraian yang mampu dicerna lewat dialog dan jalan pikiran baik melalui keduanya.
Isi cerita seolah-olah menjadikan Shira dan Joshua adalah sosok-sosok yang sedang mengikuti konseling. Shira sebagai pasien, Joshua sebagai dokter. Atau sebaliknya. Saling mengungkapkan perasaan yang membelenggu selama mereka bertahun-tahun hidup sebagai manusia. Sedari kanak-kanak hingga dewasa ternyata keduanya merasa harus memakai topeng demi menyenangkan orang lain.
Apa saja yang bisa membuat seorang anak atau remaja hingga dewasa merasa terpuruk terus menerus? Di dalam novel ini terjawab semuanya. Tekanan, kekecewaan, kurang menghargai diri, apatis, pertemanan dan lain-lain sehingga seorang milenial yang hidup di zaman serba gampang, justru mengalami depresi akut. Ironis sekali bukan?
Beracun
Saya baru pertama kali membaca novel karya Ruth tapi dari sini saya merasa novel ini berhasil mengupas luka terdalam dari seorang milenial pada umumnya. Alur cerita dan eksekusinya menurut saya tidak terlalu menohok. Namun saya menikmati latar cerita digambarkan dan bagaimana pengarang lebih jeli mengungkap dan mengungkit kisah masa lalu Shira di sela-sela perjalanannya menjelajahi Tokyo. Meskipun tidak tebal tapi novelnya sudah merangkum gagasan yang hendak diutarakan.
Dengan gaya penceritaan yang terbagi menjadi dua sudut pandang yaitu sudut pandang Shira dan Joshua, narasi yang disampaikan cukup detail, ringkas dan lebih terarah dalam menunjukkan emosi yang tertahan bagi keduanya. Cukup bagus. Namun kalau dihubungkan dengan sampulnya, agak bingung melihatnya. Suram dengan warna hijau bosok seakan menunjukkan begitulah kisah seorang Shira.
Selain latar dan sampul, novel ini juga dipenuhi oleh dialog yang menggambarkan suasana pertemanan yang beracun. Dan ya, memang seperti itulah rasanya jika kita berteman atau bersahabat namun tidak saling mendukung alias berat sebelah. Kita harus menyenangkan orang lain tapi orang itu tak pernah peduli dengan keinginan kita, semacam itu.
"Tata nggak pernah mau tahu lagi lagu apa yang gue suka...nggak pernah mau tahu apa-apa lagi tentang gue jika hal tersebut nggak bersinggungan sama layar hidupnya yang menurutnya sudah berat itu" hal.93
Meskipun eksekusinya di luar ekspetasi, secara keseluruhan kisah ini menarik karena tak hanya tentang Tokyo dengan suasananya yang mendukung romantisme, namun juga memasukkan urusan kesehatan mental yang dibalut dengan perbincangan tanpa emosi. Oh ya foto-foto tentang kota Tokyo cukup memberi nilai plus di novel ini.
Tidak ada komentar: