Fiersa Besari
Mediakita, 300 hal
Gramedia Gancity
Sinopsis
Tiga anak muda yang memiliki mimpi untuk melakukan perjalanan mengelilingi Indonesia mematangkan rencana mereka di terminal Leuwi Panjang, Bandung. Dari sana Baduy, Prem dan sang penulis yang biasa dipanggil dengan nama Bung akhirnya berhasil menjelajahi tempat-tempat di Indonesia yang menjadi daftar wajib untuk didatangi.
Penjelajahan dimulai dari pulau Sumatra dengan menginjakkan kaki pertama kali di Bandar Lampung, Padang, Bukittinggi, Sibolga, mampir ke Pulau Nias demi menyaksikan Lompat Batu, hingga Pulau Weh. Di puncak Gunung Sibayak, Prem sempat mengibarkan bendera Indonesia. Lalu berlanjut ke Makassar mengunjungi salah satu kepulauan Selayar, Tana Toraja lalu menepi di pelabuhan Manado.
Bertiga mereka mengalami suka dan duka dalam melakukan petualangan hingga tiba saatnya salah satu dari sahabat ini harus memisahkan diri meninggalkan Bung menjelajah sendiri.
Perjalanan diakhiri untuk sementara di Sulawesi Utara, tepatnya di kota Manado.
Ulasan
Pertama kali membaca kisah perjalanan yang ditulis oleh seorang anak muda yang populer lebih dahulu di sosial media perasaan saya agak ragu sekaligus penasaran. Jujur, saya gak terlalu kenal dengan nama Fiersa. Siapa sih Fiersa? Penulis barukah, penjelajah yang ingin berkisah seperti Agustinus Wibowo (Nah, kalau penulis ini saya kenal banget), atau hanya mengisi momen sebagai petualang yang telah berhasil keliling Nusantara lalu menuangkan pengalamannya ke dalam tulisan? Penasaran kan.
Dan karena ingin tahu apa yang ia tuliskan akhirnya saya membacanya. Kesan pertama setelah membaca, ceritanya lumayan bagus. Teknik penyajian tulisannya saya rasa gak buruk-buruk amat. Cuma kurang detail saja dan tidak menyampaikan narasi secara menjurus terhadap setiap daerah yang ia sambangi.
Penulis yang akrab dipanggil 'Bung' ini rupanya telah menemukan wadahnya untuk menuangkan berbagai pengalaman dalam menjelajahi Indonesia yakni dengan menulis buku. Sesuatu yang mampu memberikan sebuah bukti bahwa benda yang bernama buku ini tak hanya dibaca oleh khalayak namun bisa dinikmati dan bisa dikenang sebagai sebuah karya. Buku yang berisi perjalanan yang akan menjadi warisan turun temurun bagi anak cucu dan bukti otentik bahwa ia telah pernah menjelajah dan menapaki sebagian besar wilayah Indonesia yang indah dan permai.
Ramah dan Tulus
Menilik pemaparan cerita dengan isian perjalanan dan interaksi mereka bertiga baik teerhadap sesama teman perjalanan atau dengan masyarakat setempat, cukup memberi kesan bahwa perjalanan itu sendiri adalah suatu proses pembelajaran pribadi dan pendewasaan. Ketiga teman seperjalanan ini mampu bersikap tenang, saling dukung, mampu membawa diri, dan dalam situasi apa pun tetap berkepala dingin. Dari tulisan Bung ini pun kita mengetahui sikap-sikap warga setempat yang mencerminkan kepribadian orang Indonesia yang ramah dan tulus.
Keakraban, keramahtamahan yang tulus dan sikap membantu tanpa pamrih adalah oleh-oleh tak ternilai yang kita ketahui kemudian melalui cerita perjalanan Bung. Semisal tentang upacara kematian yang ditampilkan yang sebenarnya sangat informatif, terutama tentang Adu tedong di Tana Toraja.
" Tedong-tedong yang kemarin diadu, hari ini disembelih, puluhan kepala tedong tergeletak tak bernyawa..." hal.159
Banyak pengalaman yang dipaparkan oleh penulisnya. Mulai dari menentukan tempat mana yang akan dikunjungi berikutnya hingga ketakutan sebagai pendatang yang menumpang di sebuah rumah tua. Kadang, untuk mencapai suatu keinginan, kita memang harus berusaha dengan berbagai cara. Seperti saat trio ini hendak menuju ke salah satu kepulauan Selayar. Ingin ke tempat itu namun dana cekak. Jadilah salah satunya melobi pimpinan tur agar bisa diikutkan alias diajak ke Selayar.
Lewat Blog
Dalam kisah-kisah petualangan yang sebelumnya sering saya baca, biasanya akan kita temukan sekelumit cerita unik, memalukan atau mengharukan yang menghiasi perjalanan. Meskipun tidak bermaksud membandingkan, buku Arah Langkah ini pun juga bercerita demikian namun dalam porsi yang malu-malu. Kurang menggebu-gebu dan mengemuka. Mungkin, masih ada cerita lainnya yang kemungkinannya unik dan menarik tetapi karena ada pertimbangan lain maka yang terhidang hanya kisah yang seakan disampaikan saat kita ngobrol dan nongkrong di depan rumah.
Padahal saya sangat menantikan kisah ini ada puncaknya, gongnya. Nah, dalam buku ini saya tidak menemukan gong itu. Semua yang diceritakan sepertinya merupakan paparan catatan harian dengan berbagai kisah pengalaman pribadi penulis. Saya sih cocok-cocok saja dengan gaya penuturan cerita seperti ini karena membumi dan apa adanya. Namun sebenarnya kisah ini masih bisa dieksplor lebih jauh lagi.
Tergelitik dengan Seberes
Oh ya, baru di buku ini saya selalu menemukan kata 'seberes'. Entahlah saya merasa agak kurang sreg dengan pemakaian kata 'seberes'. Awalnya dikira kemunculannya hanya sedikit saja, ternyata sepotong kata ini kerap dipakai berkali-kali di sepanjang cerita dan saya merasa penasaran dengan arti harfiahnya.
Setelah membaca sesuai konteks kalimatnya, barulah saya menerjemahkan sendiri bahwa:
Seberes = Setelah beres...
Karena penasaran saya pun mencarinya di KBBI V, dan...kata ini tidak tercantum. Jadi, saya simpulkan seberes ini hanyalah gaya atau ungkapan kata si penulis untuk menyatakan bahwa ada suatu aktivitas selesai alias beres. Ya, sampai segitunya saya membaca kisah ini.
Secara keseluruhan isi ceritanya menarik karena selain penceritaannya mudah diikuti, buku ini sangat royal menampilkan foto-foto dokumentasi perjalanan ketiganya, yang dicetak dalam kertas glossy sehingga sangat membantu sekali dalam menggambarkan petualangan itu sendiri.
Dari semua cerita perjalanan pada hakikatnya yang kita ambil pelajarannya adalah bagaimana cara kita menerima berbagai perbedaan, kebiasaan, dan adat istiadat di suatu tempat yang akhirnya mampu memperkaya wawasan kita akan luas dan beraneka ragamnya budaya Indonesia.
Tidak ada komentar: