Rasina
Iksaka Banu
Kepustakaan Populer Gramedia, 616 hal
Simadu Maca - Perpusda Subang
Sinopsis
Tiba-tiba saja datang budak laki-laki yang langsung bersembunyi di bawah meja tempat kedua petugas penegak hukum bernama Staalhart dan Joost sedang berbincang tentang situasi kota Batavia. Tak lama kemudian gemuruh kuda dari para pengejar budak datang dan mulai menangkapi budak yang melarikan diri.
Budak laki-laki yang dipanggil Jimun ini langsung ditangkap sementara budak perempuan yang rupanya bernama Rasina ikut meronta-ronta ingin membebaskan diri pula dari tangkapan para centeng De Vries, seorang vrijburgher terkemuka di Batavia.
Sebagai baljuw (kepala polisi) yang baru, Staalhart dan petugas landdrost (daratan) yang membawahi ommelanden (lingkungan) Timur Batavia bernama Joost Borstveld rupanya memendam keresahan yang sama akan urusan kejahatan yang dilakukan oleh petinggi yang licin dan berani mempermainkan dokumen macam De Vries. Kedua penegak hukum ini bahu membahu mengumpulkan berbagai bukti keterlibatan pejabat ini dalam penyelundupan opium, budak, suap dan pemalsuan dokumen.
Sementara itu Rasina yang ketakutan tinggal di landhuis Jacob De Vries, melarikan diri dan mendatangi duo petugas ini. Saat Rasina ditempatkan di pondok persembunyian Slingerland, Antsjol, Joost menengok budak itu sekaligus mendapati bukti-bukti kekejaman De Vries di tubuh Rasina. Gadis budak yang didatangkan dari Banda ini kerap disiksa dan dijadikan budak nafsu oleh tuan dan nyonyanya.
Joost akhirnya mengetahui bahwa biang keladi dari semua kejahatan yang melekat pada De Vries rupanya dilakukan oleh rekannya sendiri, sesama petugas hukum landdrost yang bertugas di ommelanden Barat bernama Izaak Griezelig.
Ketika pengadilan menjatuhkan hukuman atas kekejaman yang dilakukan De Vries beserta kaki tangannya, hal yang tersisa hanyalah memerdekakan Rasina. Sayangnya, upaya itu terganjal di pasar lelang budak Manggarai. Staalhart kalah lelang dan Rasina dibeli oleh seorang pengusaha kulit putih.
Ulasan
Ini ketiga kalinya saya membaca novel karangan Iksaka Banu, spesialis pengarang genre fiksi sejarah yang selalu menghadirkan kisah kolonial dengan begitu nyata dan memukau. Dalam novel berjudul Rasina ini garis besar cerita adalah soal ketamakan yang beriringan dengan penegakan hukumnya yang tegak lurus pada keadilan serta dilema perbudakan di masa kebangkrutan VOC.
Ditulis dengan tetap berpegang teguh pada fakta sejarah yang sebenarnya atas nasib kepulauan Banda yang hancur lebur oleh ulah Belanda, cerita mengalir dengan mengusung ketamakan dan keserakahan penjajah dalam menguasai kekayaan baik di Batavia maupun di pulau Banda.
Tentang Banda sendiri, disuguhkan dalam sub plot khusus yang melukiskan pembasmian penduduk Banda oleh VOC menurut catatan pengalaman seorang juru tulis Belanda saat mengikuti ekspedisi ke pulau tersebut.
Cerita yang diangkat sangat memilukan, memukau dan mencengangkan karena mengungkap kebobrokan moral menyangkut kaum bumiputera dan kompeni pada masa pertengahan abad 18. Sungguh
tak terbayangkan betapa menyakitkan membaca kebiadaban kompeni dalam
membantai penduduk Banda-surga pala, rempah-rempah paling dipuja di seantero dunia di
masa itu.
Secara alur cerita, kisahnya mengasyikkan untuk diikuti meski tebalnya lebih dari 500-an halaman
namun karena terbagi dalam dua sub plot antara Staalhart dan catatan
kakeknya yang pernah menjadi juru tulis di wilayah Banda, membacanya serasa terbagi mulus yang anehnya tak terasa bosan. Satu hal yang mengganjal hanyalah kisah sosok budak bernama
Rasina yang terkesan hanya sebagai cerita pelengkap, alih-alih sebagai sosok utama namun dikesampingkan dan terpinggirkan sejenak.
Gaya narasi yang lekat dengan riset masa lalu berikut sebutan atau istilah yang digunakan untuk menunjuk suatu benda begitu detail, unik, dan khas zaman penjajahan seperti jabot (dasi berenda), tondeldoos (kotak korek api), dan lain sebagainya sehingga menambah istimewanya novel ini. Mengingatkan saya akan novel-novel karya Remi Silado yang juga selalu melakukan riset panjang sebelum menyatukannya dengan cerita fiksi.
Tak bisa bicara
Satu-satunya yang bikin
bingung hanyalah karena novel ini berjudul Rasina, tapi tidak ada peran
atau sepak terjang yang menonjol mengenai dirinya selain sebagai budak yang teraniaya, terlebih setelah lidahnya dikerat oleh majikan sehingga sangat kesulitan untuk bicara dan mengorek cerita darinya. Namun begitu, sosok Rasina yang tak bisa bicara ini justru memancarkan kekuatan yang mendorong duo penegak hukum dari Belanda untuk mengobrak-abrik aksi para penguasa yang tidak tahu malu mengeruk harta seenaknya. Keduanya sudah muak dengan aksi penguasa yang dinilai sangat kotor aksinya.
Sebetulnya aku selalu bertanya dalam hati, berapa lama lagi VOC bisa bertahan di Hindia sebelum jatuh bangkrut? Segala urusan sudah berkembang menjadi sangat rumit, penuh intrik dan hal-hal yang sesungguhnya tidak kita perlukan (hal 419)
Sesungguhnya saya menantikan aksi apakah yang akan dan bakal dilakukan budak ini. Sampai setengahnya jalan cerita, isinya lebih banyak memaparkan strategi untuk menangkap De Vries, sementara Rasina tenggelam dalam hiruk pikuk ego antara pejabat kompeni dengan penegak hukum yang dipimpin Staalhart.
Kendati di awalnya terasa bertele-tele, namun mendekati akhir, cerita seolah menemukan klimaksnya yang ternyata seru dengan aksi tembak-tembakannya. Terlebih saat pelaku yang saya curigai menewaskan budak Jimun ini, adalah sosok yang tak pernah hadir ketika Staalhart berkali-kali mengajaknya berdiskusi tentang penyelundupan opium.
Meskipun fiksi berlatar sejarah, tak bisa dipungkiri jalan ceritanya terasa nyata dan mencekam, kita seolah larut dalam kesedihan, gemas dan gregetan menyaksikan moral barisan penjajah yang katanya berjiwa Kristus namun dalam praktiknya lebih keji dari binatang dalam memperlakukan para tawanan Banda. Adegan pembantaian para petinggi Banda sungguh memilukan dan cukup detail diceritakan seakan novel ini ingin mengatakan, begitulah watak asli JP Coen- Gubernur Jenderal yang berkuasa di masa itu dalam memperlakukan musuh.
Meskipun fiksi berlatar sejarah, tak bisa dipungkiri jalan ceritanya terasa nyata dan mencekam, kita seolah larut dalam kesedihan, gemas dan gregetan menyaksikan moral barisan penjajah yang katanya berjiwa Kristus namun dalam praktiknya lebih keji dari binatang dalam memperlakukan para tawanan Banda. Adegan pembantaian para petinggi Banda sungguh memilukan dan cukup detail diceritakan seakan novel ini ingin mengatakan, begitulah watak asli JP Coen- Gubernur Jenderal yang berkuasa di masa itu dalam memperlakukan musuh.
Kekejaman yang menimpa nenek moyang Rasina terus menurun hingga ke nasib cucu-cucunya, tak terkecuali Rasina sendiri. Novel yang berhasil mengangkat situasi Batavia dan Banda begitu tak terlupakan.
Selamat untuk pengarangnya yang mampu menghadirkan gejolak dan fakta masa lalu
di masa penjajahan dulu dengan begitu gamblang yang tak semua orang tahu. Novel yang sangat istimewa.
Tidak ada komentar: