Damar Kambang
Muna Masyari
Kepustakaan Populer Gramedia, 208 hal
Gramedia Gandaria City
Sinopsis
Acara pernikahan Cebbhing yang awalnya bakal meriah dan semarak itu tiba-tiba redup karena dibatalkan begitu saja oleh sang Ayah, Madlawi. Pasalnya sang besan rupanya tidak membawa hantaran berupa rumah dan isinya saat acara penyambutan yang disebut Mokka Blabar. Kontan Bahrawi marah besar karena ditolak tepat ketika rombongan pengantin anak laki-lakinya ini tiba. Padahal acara penyambutan itu sudah berlangsung hingga ke penyobekan kain ke-5 dari tujuh tirai kain berwarna merah cabai yang dipersyaratkan.
Dengan rasa malu dan amarah meluap-luap atas penghinaan dari pihak perempuan, pihak lelaki pulang dan Kacong pun melancarkan guna-guna agar Cebbhing terus teringat pada dirinya. Gadis yang tak tahu apa-apa ini seolah terhipnotis dan selalu ingin mengunjungi rumah Kacong.
Madlawi yang gusar akhirnya mengurung putrinya dan memasung kedua kakinya. Namun langkah ini pun tidak berhasil. Gadis malang ini selalu berontak. Dan untuk meredam segala gangguan guna-guna yang masih membekas, Cebbhing dipaksa kawin dengan guru mengajinya, seorang kiai paling berpengaruh di kampung, Ke Bulla.
Pernikahan ini pun masih diwarnai oleh gunjingan dan cemoohan karena ternyata istri muda Ke Bulla merasa cemburu dan tak rela. Segala daya dan upaya dilancarkan untuk menggagalkan perkawinan antara Cebbhing dengan pak kiai yang sudah sepuh ini. Padahal, gadis yang baru beranjak remaja ini telah hamil lebih dahulu.
Ulasan
Senang sekali menjumpai cerita seperti ini. Cerita-cerita yang mengangkat tradisi, adat istiadat masyarakat, kebiasaan serta pertentangan di baliknya selalu menarik untuk disimak dan dikaji. Ada semacam ironi dan kebanggaan semu manakala sebuah tradisi berhasil dipertahankan.
Namun sebaliknya bila tak mampu memenuhinya maka kebanggaan itu seakan daun kering yang terinjak remuk. Cemoohan dan gunjingan tak akan selesai begitu saja hingga tujuh turunan seperti yang terjadi pada acara pernikahan yang dilangsungkan di Madura.
Mengambil latar di sebuah desa bernama Karang Penang, cerita ini bermula. Segala konflik yang tejadi berpusat pada membela harkat martabat dan bagaimana mengembalikan kehormatan itu ke tempatnya.
Ini soal tengka! Persoalan tengka itu masalah harga diri! Masalah kehormatan! hal.26
Meskipun ini hanyalah serpihan ilustrasi, namun tak bisa dipungkiri potret pernikahan yang lebih mementingkan harga diri sangat ditonjolkan dan dipandang serius di pulau garam ini. Ketika sang besan tak mampu mempersembahkan hantaran, dari situlah api dalam sekam mulai merambat.
Damar kambang yang senyap
Seperti nyala Damar Kambang yang harus dipertahankan, semestinya pernikahan memang harus terus dijaga sedari awal karena api yang terus menyinari itu merupakan simbol kelancaran dan keberlangsungan sebuah pernikahan serta perjalanan hidup sepasang suami istri selanjutnya. Ketika Damar Kambang redup bahkan padam, disitulah petaka mulai terjadi sekaligus getir.
Membaca novel ini saya terpesona oleh setiap kata dan kalimat yang dituturkan oleh pengarangnya. Semuanya terasa hidup dan dekat dengan realitas. Mulai dari keriuhan pesta pernikahan hingga perseteruan magis yang dilancarkan oleh masing-masing pihak. Pengarang sangat lancar dan fasih dalam menceritakan budayanya sendiri.
Potret masyarakat kelas bawah yang akrab dengan pertaruhan dan seringnya keputusan sepihak yang dikeluarkan oleh kekuasaan patriarki menghasilkan tumbal yang tidak main-main. Anak-anak perempuan di usia belia terpaksa harus melepas masa indahnya remaja demi menuruti kehendak orang tua yang egois dan demi menjaga harkat martabat di tengah masyarakat.
Cerita yang seru ditunjang oleh banyaknya tokoh yang terlibat menjadikan Damar Kambang memiliki bobot kisah yang unik. Novel setebal 200-an halaman terasa padat dengan sub plot susul menyusul dan kian menggebrak.
Damar kambang yang tetap hidup
Alur ceritanya yang dibuka dengan pertaruhan karapan sapi cukup memberi gambaran dan menjadi pembuka tentang situasi yang kental dengan ketidakpastian di tanah garam ini. Teknik penceritaan di mana sang Damar Kambang menarasikan dirinya dalam setiap kehidupan sang pengantin wanita cukup memberi bayangan akan seperti apakah sang Damar Kambang ini. Tetap redup lalu mati atau nyalanya kembali memancar?
Di sinilah kepiawaian sang pengarang muncul dalam meramu cerita. Agar pembaca tidak terlalu kebingungan, pengarang menjahit satu demi satu sehingga mulai kelihatan alurnya yang mengesankan.
Muna Masyari memang sudah lama berkarya namun jujur dari novel inilah saya baru mengenalinya dan langsung menyukainya. Kalau dibuatkan semacam film pendek pasti bakalan bagus dan mengedukasi banget karena budaya Madura saya yakin belum banyak yang tahu. Tradisi karapan sapi hanyalah sisi lain yang menonjol. Memahami dan menyalakan harapan agar menjadi sosok wanita yang tangguh adalah sisi yang utama terlebih lagi untuk Cebbhing.
Tidak ada komentar: