Kenanga: Keanggunan dan Kekerasan Hati Perempuan dalam Menyikapi Adat Istiadat Bali

 



 
Kenanga
Oka Rusmini
Gramedia Widiasarana Indonesia, 294 hal
iPusnas
 
 
Sinopsis
 
 
Kenanga begitu masygul hatinya mendapati kekasihnya Bhuana harus menikahi adiknya, Kencana. Terlebih sesungguhnya ia tak ingin lagi bila Bhuana terus menerus mendekati dirinya sementara hatinya sudah ia khlaskan demi kebahagiaan Kencana. Lelaki itu pun sebenarnya lebih mencintai Kenanga namun posisinya sebagai suami Kencana yang bermartabat dan berkasta Brahmana, membuatnya harus menahan diri.
 
Kehadiran seorang Wang Jero -pembantu wanita di tengah keluarga Kenanga membuat cahaya rumah di lingkungan griya menjadi lebih bersinar. Luh Intan telah lama merasa bahwa dirinya bukan sekadar pembantu. Sikap majikannya yang bernama Kenanga mampu menghilangkan keterasingan dan rasa dahaga serta kerinduan akan sosok seorang ibu.

Sementara Kenanga yang masih sibuk dengan kemandiriannya dan seolah tak butuh pria lain, Luh Intan pun justru tengah berusaha memahami dirinya yang datang dari kasta paling rendah namun kebetulan hidup di tengah keluarga berkasta Brahmana yaitu keluarga Kenanga.

Lalu ketika cinta datang menghampiri dirinya yang berstatus Wang Jero, akankah Luh Intan berani menyambut kasih tulus itu dari pria yang kebetulan berkasta Brahmana?
 

Ulasan
 

Kisah seindah ini lagi-lagi saya temukan ketika sedang berkelana di iPusnas. Saya sudah lama sebenarnya mengetahui novel-novel yang ditulis oleh Oka Rusmini. Namun karena sesuatu hal, akhirnya saya baru bisa berkesempatan membaca dan menjelajahi novelnya saat ini. Salah satunya adalah ini, Kenanga.

Banyak sekali hikmah yang bisa diambil dari sebuah novel yang telah kita baca. Terlebih bila pengarangnya adalah perempuan, di  mana seolah banyak sekali beban sebagai wanita yang harus dikeluarkan dan dituturkan lewat tulisan. Serta mampu membuka mata dan pikiran.

Sebelum membacanya pastinya saya sudah mencari tahu dulu apa isi ceritanya dan rata-rata semua menggaungkan isu tentang feminisme dan benturan-benturan adat yang terjadi di Bali. Menarik sih, apalagi saya baru membacanya pertama kali.

Akhir-akhir ini memang saya tertarik untuk membaca novel yang menggunakan pendekatan sosiologi, budaya atau adat yang hidup di Indonesia. Latar budaya yang berbeda dan diceritakan dengan sudut pandang yang lain tentunya memberi gambaran baru tentang sebuah kisah yang utuh. Dan Kenanga seolah memberi gambaran bahwa perempuan memang diciptakan untuk bersikap luwes sekaligus berani.
 

 Bebas lepas


Kenanga yang seorang dosen dan keturunan Brahmana masih tetap menghadapi kendala dalam menyalurkan kesesakan pikiran-pikirannya karena terhalang oleh adat dan statusnya. Jangankan yang berkasta Sudra, dirinya yang Brahmana pun kerap mengalami perlakuan dan gunjingan yang bikin gerah di lingkungan griya orangtuanya.
 
Sebagai perempuan berpendidikan, Kenanga ingin bisa bebas dan lepas dalam mengambil berbagai keputusan yang menyangkut hidupnya kelak. Meskipun telah menyandang gelar S-2, ia tetaplah seorang perempuan yang masih harus tunduk pada seluruh keputusan yang diambil keluarga besarnya.
 
Apa kata orang nanti bila seorang Brahmana jatuh hati dengan orang keturunan Sudra? Atau sebaliknya? Apakah dewata akan merestuinya? Begitulah salah satu nafas cerita yang bisa ditarik dari novel ini. 

Tak hanya kebimbangan Kenanga, Luh Intan pun sibuk dengan kegamangan dan kecemasan akan masa depan dirinya meskipun telah diterima di sekolah kedokteran. Sejak kecil Intan sangat diperlakukan berbeda oleh keluarga majikannya. Dan itu menyejukkan.

Ia tahu Kenanga dan Bhuana sangat menyayangi dirinya. Yang tak ia ketahui adalah adanya rahasia besar yang akan terus mengikuti ke mana pun Luh Intan pergi melangkah. 
 

"Kau harus berani, Intan. Hidup ini keras. Dan jadi perempuan itu sulit. Tapi, kalau kita tabah dan siap untuk kalah dalam setiap pilihan kita, maka kita bisa menikmati hidup. Kemenangan dan kekalahan bukan hadiah, tapi bagian dari hidup yang harus kita bayar" hal.140

 

Dipelihara diam-diam

 
Cerita ini memakai dua sudut pandang. Satu dari Kenanga, satu lagi melalui Luh Intan. Gak membingungkan kok. Malahan keduanya mampu merepresentasikan segala persoalan baik pribadi maupun lingkungan terutama Bali dengan perspektif yang tepat.
 
Bahkan kita menjadi sadar bahwa perbedaan kasta atau kelas di tengah masyarakat modern sungguh menyakitkan. Ini tak ubahnya dengan budaya di Jawa yang kerap memandang seseorang mulai dari bibit, bebet dan bobot. Dan adat seperti ini bukannya nyaris hilang namun justru dipertahankan dan dipelihara diam-diam. 

Lewat Kenanga kita disadarkan bahwa menjadi perempuan memang harus terus berjuang, tidak menyerah oleh ketakutan atau kecemasan yang berasal dari pihak lain. Keluarga dan lingkungan masyarakat apalagi adat tak seharusnya dilawan secara frontal namun bersikap termangu-mangu juga tidak akan menghasilkan apa pun.
 
Sesulit apa pun perempuan memang kudu 'melawan' berbagai rintangan. Keras hati namun luwes serta anggun mungkin bisa menjadi pijakan bagaimana seharusnya berjalan, seperti yang tercermin melalui sosok Kenanga.

Novel yang mengena dan berkesan bagi saya yang baru pertama kali membaca karya Oka Rusmini. Mungkin lain waktu akan saya sempatkan membaca karya-karyanya karena sepertinya perempuan akan selalu menarik dan indah untuk dieksploitasi melalui karya Oka Rusmini.

Kenanga: Keanggunan dan Kekerasan Hati Perempuan dalam Menyikapi Adat Istiadat Bali Kenanga: Keanggunan dan Kekerasan Hati Perempuan dalam Menyikapi Adat Istiadat Bali Reviewed by Erna Maryo on Agustus 28, 2021 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.