Keinginan untuk Memaki Ketika Membaca Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam

 

 
Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam
Dian Purnomo
Gramedia, 300 hal 
iPusnas
 

Sinopsis

 
 
Tak pernah sekalipun Magi Diela dalam hidupnya mengalami peristiwa yang luar biasa mengerikan. Ia diculik dengan brutal kala hendak mengunjungi suatu tempat saat bekerja lalu dipaksa kawin oleh orang yang telah menculiknya. Magi yang lulusan sarjana pertanian itu rupanya tak luput juga dari tradisi kawin tangkap yang telah mengakar sangat kuat di Sumba. 

Meskipun hati terluka oleh kondisi dirinya yang telah ternoda, namun Magi, gadis yang keras hati ini bertekad untuk memberi pelajaran dan berniat memenjarakan Leba Ali meskipun banyak sekali halangan dan rintangan yang membelenggu dirinya.

Selain tradisi yang ia benci, lingkungan yang tidak memberi dukunganlah yang membuat dirinya makin terpuruk terutama setelah mengetahui bahwa ayahnya, Ama Bobo pun turut andil dalam menggiring dirinya agar menerima pinangan Leba Ali hanya karena pria mata keranjang itu mampu memberikan belis yang lebih besar.

Demi membebaskan dirinya dari ancaman kawin paksa, Magi rela menyerahkan dirinya pada si mata keranjang dan mulai menyusun rencana untuk menghukum Leba Ali. Dibantu sahabatnya Dangu Toda, ia yakin mampu memerdekakan dirinya dari tradisi bejat ini.
 

Ulasan

 
Membaca novel ini begitu banyak pesan yang tersirat dan mau tak mau menjadi bahan kajian paling seru tentang adat kawin paksa di Indonesia. Novel yang mengupas tentang adat apalagi tentang kawin paksa itu langka, dan sekalinya muncul sungguh membuat terhenyak dan hati ini ikut menjerit.

Fakta dan riset yang didapat sangat memberi nyawa akan jalannya cerita yang meluncur dahsyat sejak di awalnya. Simpati yang tak berkesudahan pada tokoh utama kita, Magi Diela yang berusaha menolak adat cukup memberi kesadaran bahwa ternyata di salah satu wilayah pulau di Indonesia ini masih ada tradisi yang kurang menghargai alias merendahkan harkat dan martabat perempuan.

Tradisi yang populer disebut Yappa Mawine ini sudah dipandang sebagai hal yang wajar di tanah Sumba. Menyakitkan karena perempuan meskipun setinggi apa pun sekolahnya tetap harus menjalani tradisi ini dan itu sangat jelas dikisahkan melalui perempuan pintar bernama Magi Diela.

Meskipun lulusan sekolah di Jawa, keluarganya yang kolot masih tetap menganggapnya sebagai aset potensial untuk dinikahkan secara paksa. Terlebih dengan memiliki gelar sarjana, maka status sosial menjadi ikut terangkat seiring dengan mahar (belis) yang harus dibayarkan oleh keluarga Ama Bobo. 
 

 Mulut buaya

 
Potret kegelisahan seorang perempuan yang harus membebaskan diri dari kungkungan tradisi ini sangat berhasil memicu adrenalin, sekaligus rasa geram yang makin lama makin meletup akibat perilaku dan lingkungan keluarga Magi sendiri yang justru makin menjerumuskan gadis itu ke mulut buaya.
 
Membaca novel ini suka tidak suka rasa geram itu akhirnya akan muncul melihat ketidakberdayaan yang stagnan, seolah tak ada jalan lain kecuali menceburkan diri dan langsung menumpas penyebabnya dengan menyengaja agar disakiti oleh suami kasarnya, Leba Ali.
 

"Ko jangan main gila, Magi. Ko ini mau masuk ke mulut buaya. Belum tentu ko bisa keluar dengan selamat." "Kalau sa tidak selamat, mungkin orang lain baru akan berjuang dengan sa punya mayat." Hal.246

 
Novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam sungguh memberi pelajaran yang sangat mahal tentang arti menolong diri sendiri agar terbebas dari bekapan kawin tangkap. Pengarang mampu menelisik hingga jauh sampai ke akarnya yang membuat mata kita terbuka dan sadar masih banyak nasib perempuan yang dipermainkan oleh pihak lain.
 

Wulla poddu

 
Sebenarnya ketika membaca sinopsisnya saya kurang tertarik untuk membacanya, karena pasti akan bersinggungan dengan isu perempuan, feminisme dan sebangsanya yang berat-berat. Namun melihat sampul depannya yang unik (sebenarnya ilustrasinya tentang apa ya?), tiba-tiba saya merasa harus membacanya. 
 
Hasilnya? Dahsyat! Ibarat musik rock yang berdentam-dentam, alur cerita begitu deras mengalir tanpa putus, tanpa memberi sedikit ruang bagi pembaca untuk menelaah lebih jauh, kecuali bahwa kawin tangkap ini begitu menggelisahkan dan kompleks. 
 
Pengarangnya super duper keren dalam menuangkan gagasan sekaligus mengantarkan atmosfer suasana lingkungan yang sangat lekat dengan daerah Sumba. Seolah kita berada di pulau Sumba yang meresahkan dan dibayang-bayangi Wulla Poddu (bulan hitam).

Dialog yang terjalin antara Magi dan Dangu Toda cukup membuat bergidik sekaligus sedih karena keduanya pun memiliki rasa yang sama. Rasanya ingin memaki kepahitan yang dialami keduanya. Dan saya larut dalam ketidakberdayaan yang dialami orang-orang yang keras hati ini.
 

"Sa minta maaf tidak bisa memenuhi ko punya permintaan yang terakhir, tapi tolong, tetap hidup. Karena mayat tidak bisa berjuang!" Kata Dangu sembari mencengkeram kedua  lengan Magi. Hal.263


Meskipun terlambat, saya senang bisa berkesempatan membaca novel ini. Kisah yang mampu membuat pembaca ingin mencaci maki, mencerca sekaligus memuji keberanian seorang perempuan yang menerobos penghalang dengan cara-cara yang ekstrem.
 




 
 


 


Keinginan untuk Memaki Ketika Membaca Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Keinginan untuk Memaki Ketika Membaca Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Reviewed by Erna Maryo on April 21, 2023 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.