Impian Naif dan Iming-iming Dahsyat dalam Novel Jatisaba

 

 
Jatisaba
Ramayda Akmal
Grasindo, 248 hal
iPusnas 
 
 

Sinopsis



Kedatangan Mae yang tanpa diundang ke desa kelahirannya Jatisaba, membangkitkan harapan warga desa terutama kaum perempuan yang hidupnya telah terpuruk oleh kondisi desa itu untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Yang mereka tidak sadari adalah Mae sedang menebar jaring penuh impian palsu membujuk warga untuk mau menjadi TKI secara mudah dan langsung dipekerjakan dengan iming-iming gaji yang besar.

Bersamaan dengan itu desa Jatisaba rupanya sedang semarak karena adanya hajatan pemilihan kepala desa berikut kampanye hitamnya. Ada tiga bakal calon kades salah satu diantaranya yang bernama Jompro menangkap peluang ketika Mae yang memerlukan berbagai surat perizinan untuk urusan TKI ia paksa agar gadis itu bersedia bekerja sama demi memperoleh suara warga.

Transaksi yang awalnya dipandang ringan itu akhirnya menjadi bumerang bagi Mae dan Malim, rekan sesama calo TKI yang selalu membantunya, manakala Jompro akhirnya kalah dalam pemilihan kades. 

Mae harus segera membawa kelima belas calon TKI ini keluar dari Jatisaba dan pamit meninggalkan Sitas yang selalu dianggapnya bodoh dan mata duitan. Tak pernah ia duga petualangan Mae akhirnya terhenti secepat itu justru berkat aduan temannya sendiri.
 

 

Ulasan



Membaca buku ini mengingatkan saya akan koleksi cerita karya pengarang Ahmad Tohari atau Okky Madasari yang sarat dengan intrik, intimidasi serta kritik sosial yang tentu saja memiliki makna yang lebih dari sekadar ucapan penuh sindiran.

Saya terlambat mengetahui novel ini karena mungkin tadinya tidak terlalu diangkat atau dipasarkan secara bombastis padahal novel ini adalah pemenang unggulan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2010, di mana setiap novel yang diumumkan oleh DKJ pasti menarik dan memiliki kepekaan sosial yang menyentuh.
 
Bisa dibilang saya terlambat membacanya namun ternyata isi ceritanya tidak kadaluwarsa sama sekali. Sebaliknya kisahnya sangat dan masih relevan dengan isu yang sedang terjadi hingga sekarang ini. Bayangkan, novelnya ditulis pada 2010, namun hingga 13 tahun kemudian masalah yang menghinggapi warga desa seperti di Jatisaba rupanya masih selalu ada dan nampaknya sulit hilang. Kemiskinan dan ketidakberdayaan melawan arogansi yang dimiliki orang-orang kuat adalah keseharian yang bisa ditemui di suatu desa yang gersang, terbelakang dan jauh dari hukum.

Borok desa


Cerita berlatar suasana pedesaan dengan kesan yang menyenangkan nan indah permai rasanya sangat jauh dari novel ini. Segala kenaifan, keluguan, keburukan dan nasib para warganya justru lebih banyak terungkap dengan begitu gamblangnya.
 
Dengan begitu fasihnya Jatisaba bercerita mengungkap borok desa yang kumuh berdebu. Saya suka dengan karakter para warga desa Jatisaba. Kaum bacalon kades, warga Dulbur, warga Legok, bahkan para teman-teman masa kecil Mae-Maina seperti Kusi dan Musri yang mampu memberi nuansa yang lain. Mereka begitu 'nyaman' hidup di tengah kesengsaraan desa yang sulit bangkit dan gampang tersulut itu.

Sebuah potret jujur sisi gelap kehidupan di desa yang masih relevan sampai saat ini dan berhasil menghadirkan drama paling nyata tentang pilkades dan bahaya pengiriman TKI ilegal lengkap dengan intrik-intrik menyakitkan yang menimpa kaum perempuannya dan berhasil diangkat dengan sangat tajam oleh pengarangnya.

Berisi ulat

 
Tokoh Mae dan Sitas adalah sosok kunci yang menarik tapi juga menyebalkan. Karakter Sitas justru menarik perhatian sepanjang bacaan. Di sini penggambaran setiap tokohnya begitu detail, bersahaja  sekaligus menyatu seolah pengarang ingin menunjukkan bahwa orang-orang yang berada di Jatisaba memang sebegitu miskinnya sampai-sampai bantuan beras berisi ulat pun tetap dijadikan bubur alih-alih dimasak sebagai nasi.
 
Pengarang mahir memainkan perasaan Mae yang terombang-ambing oleh desiran sentimentil akan kehidupan manis di desa sebelum terjerumus ke dalam dunia hitam. Kadang tergugah sesaat dengan kemiskinan teman-temannya namun di saat lain ia tak berperasaan mengajak mereka agar terperosok semuanya demi uang yang dijanjikan sang bos, Mayor Tua.

Alur ceritanya begitu berisi, padat, nyaris tanpa jeda susul menyusul dengan rentetan kejadian yang saling berkaitan antara menjaring calon TKI sebanyak-banyaknya, hiruk pikuk kesibukan pilkades yang kental dengan aroma kecurangan hingga urusan romansa cinta masa lalu antara Mae dengan mantan pacar yang juga dukun kuda lumping, Gao. Penuh sesak namun juga sangat berwarna-warni seolah Jatisaba adalah pusat segala hal, pusat dunia kecil Mae yang terus bergulat dengan kemiskinan dan kebodohan.

Bersedia dikorbankan

 
Ada lagi dunia para wanita desa yang juga teman-teman main Mae yang begitu polos dan lugunya bersedia untuk berangkat menjadi TKI. Mereka seolah sekelompok domba yang bersedia dikorbankan Mae untuk disergap serigala. Cerita ini sesungguhnya klise namun entah mengapa di tangan pengarang kisahnya mengalir begitu nyata sekaligus getir. Sampai sekarang calo yang mengajak perempuan miskin, lemah pendidikan dan diiming-imingi kehidupan sukses masih saja bergentayangan di desa yang tertinggal alias miskin.

Potret sosial berikut permasalahannya ini memang menjadi sajian menu utama dari novel ini. Santai dan apa adanya ditingkahi oleh humor satire dari tokoh-tokohnya yang sangat manusiawi menjadikan desa Jatisaba ini sangat hidup namun di saat yang sama mati surut perlahan-lahan akibat ditinggalkan oleh sebagian para penghuninya menuju kota besar. Sebegitu cintanya dengan Jatisaba yang rombeng, Mae pun tak mampu mengendalikan air matanya saat harus pergi.

"Tak apa, Mae. Kenikmatan dari perpisahan justru ada pada ketidakrelaan kita untuk pergi. Sampai kapan pun, bagian yang akan mudah diingat adalah tangisan kecilmu itu dan rasa tidak ikhlas meninggalkan segala yang kau cintai." Hal 227


Cerita yang bikin masygul tapi justru membekas sampai akhir karena karakter para tokohnya dan plot twistnya yang melegakan semua pihak. Novel sederhana yang keren.
Impian Naif dan Iming-iming Dahsyat dalam Novel Jatisaba Impian Naif dan Iming-iming Dahsyat dalam Novel Jatisaba Reviewed by Erna Maryo on Oktober 18, 2023 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.