Romansa Stovia
Sania Rasyid
Kepustakaan Populer Gramedia, 360 hal
iPusnas
Sinopsis
Yansen terpaksa harus menuruti perintah orang tuanya untuk bersekolah di Batavia. Alih-alih melupakan cintanya yang tak bersambut dengan perempuan yang ditaksirnya, pemuda Manado ini akhirnya menemukan kecocokan dan bersahabat dengan ketiga kawan yang ditemuinya saat pertama kali berada di sekolah STOVIA.
Setelah bertengkar dengan oudjes, senior yang mempermasalahkan siswa bersepatu atau tidak bersepatu, Hilman pemuda Bandung ini akhirnya berkenalan dengan Yansen, Sudiro dan Arsan. Arsan belajar di STOVIA semata-mata ingin menolong warga desanya. Sementara Sudiro terdampar di sekolah kedokteran ini karena ingin mewujudkan harapan almarhumah ibunya yang menginginkan dirinya menjadi dokter.
Demikianlah mereka resmi berada di Batavia pada 1918. Keempat sahabat ini bahu membahu mengisi kehidupan, menempa diri dalam menghadapi segala rintangan, dilema, cinta dan persahabatan sembari belajar untuk menjadi seorang dokter dengan serius di bawah bimbingan guru Anatomi kesayangan mereka, Jan Egidius Dehaan van Sterren.
Ulasan
Kisah persahabatan dengan latar sekolah zaman
Belanda rasanya baru ini diangkat secara detail dan emosional ditambah
dengan petualangan asmara mereka yang rumit dan menyakitkan.
Fiksi sejarah selalu ada sisi menariknya entah dari tokoh-tokoh asingnya atau latar zaman Hindia Belandanya (1918-1928), lengkap dengan interaksi pribuminya. Riset tentang STOVIA lumayan membantu.
Kelemahan dari cerita ini hanyalah sulit menautkan semua plot dengan eksekusi yang baik. Masalah yang ada terkesan tidak selesai, kasus pembunuhan Lukas van der Hofft seakan hanya selipan agar tambah menarik dalam cerita. Atau percintaan Yansen, atau adegan Arsan ke rumah Zalina yang bikin heboh, seluruhnya seperti sekadar meramaikan situasi tanpa ada solusi yang pas.
Secara keseluruhan ceritanya bisa dinikmati tanpa harus memikirkan kekurangan ini itu. Terlebih narasi tentang sejarahnya pun sangat mendukung.
Fiksi sejarah selalu ada sisi menariknya entah dari tokoh-tokoh asingnya atau latar zaman Hindia Belandanya (1918-1928), lengkap dengan interaksi pribuminya. Riset tentang STOVIA lumayan membantu.
Kelemahan dari cerita ini hanyalah sulit menautkan semua plot dengan eksekusi yang baik. Masalah yang ada terkesan tidak selesai, kasus pembunuhan Lukas van der Hofft seakan hanya selipan agar tambah menarik dalam cerita. Atau percintaan Yansen, atau adegan Arsan ke rumah Zalina yang bikin heboh, seluruhnya seperti sekadar meramaikan situasi tanpa ada solusi yang pas.
Secara keseluruhan ceritanya bisa dinikmati tanpa harus memikirkan kekurangan ini itu. Terlebih narasi tentang sejarahnya pun sangat mendukung.
Menarik bila kita amati cerita antara romansa dengan kehidupan mereka dalam menuntut ilmunya, di mana porsi keduanya sebenarnya sama banyaknya. Sebagaimana orang muda yang sedang hangat-hangatnya tertarik dengan lawan jenis, maka petualangan bersama seorang perempuan merupakan romansa yang indah sekaligus menyesakkan.
Konflik antar siswa beberapa kali muncul, namun sebaliknya antara orang Belanda dengan pribumi tidak terlalu ditonjolkan. Gesekan yang timbul hanyalah berupa peraturan-peraturan yang dipandang terlalu rasis yang diterapkan oleh pihak sekolah.
Anak-anak Jawa diam-diam membuat petasan karena mereka merasakan ketidakadilan di sekolah ini. Di hari raya agama Kristen, siswa diperbolehkan menggelar pentas seni, nyanyi dan pesta-pesta yang gaduh. Sementara saat Ramadan dan Idulfitri, semua dilarang membuat kegiatan apa-apa. Ketidakadilan rasial memang terpampang nyata di langit STOVIA ini (hal 163).
Hanya saja mengapa romansa yang dialami keempat pemuda ini terkesan buruk semua atau istilahnya red flag mungkin karena ada pertimbangan sendiri bagi pengarangnya. Kecuali Sudiro, ketiga pemuda ini terlibat asmara dengan wanita yang salah sasaran.
Alur ceritanya mengalir biasa saja kalau tidak disebut datar dengan konflik yang tidak terlalu tajam. Karena kisah ini dibawakan lewat sudut pandang Yansen maka setidaknya porsi romansa dirinya lebih dominan dibanding ketiga sahabatnya.
Latar cerita pada zaman Hindia Belanda di rentang waktu saat orang-orang Belanda terasa begitu bersahabat dengan kaum bangsawan dan pribumi betul-betul menjadi sebuah daya tarik dan pengalaman yang menyenangkan. Interaksi antara kedua kubu ini begitu cair dan akrab terutama saat Yansen diajak untuk menyelidiki kasus pembunuhan orang Belanda. Sekat antara penjajah dengan kaum inlander tidak terlihat lagi, justru relasinya sangat akrab dan profesional.
Pengarang memang ingin sedetail mungkin untuk menghadirkan suasana era tersebut dan upaya itu berhasil melalui atmosfer Hindia Belanda lewat nama-nama tempat yang masih asli Belanda seperti Buitenzorg contohnya. Riset yang sangat baik demi menunjang jalannya cerita dan itu patut kita apresiasi.
Akhir kata, novel ini menarik dan asyik dibaca terutama drama anak mudanya. Masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan sehingga tidak ada yang buruk tapi juga tidak ada yang baik sekali. Selain itu juga ilustrasi sampulnya yang vintage, makin menambah daya tarik untuk ingin membacanya.
Sesungguhnya kisah persahabatan adalah tema yang paling menyenangkan dan karena berada di latar tahun 1918-an maka unsur penunjang sejarahnya terasa begitu istimewa, unik sekaligus dinamis.
Tidak ada komentar: