The Red Palace-Istana Merah
June Hur
Meggy Soejadmiko (Penerjemah)
Gramedia Pustka Utama, 368 hal
IPusSulteng
Sinopsis
Ada pembantaian yang mengerikan di Akademi Perawat Hyeminseo dan menelan korban sebanyak tiga perawat istana ditambah satu dayang istana dari putri Hyegyoung. Putra mahkota Pangeran Jangheon dicurigai sebagai pelakunya sementara Hyeon, berusaha menyelidiki siapa sesungguhnya yang seharusnya bertanggung jawab atas pembunuhan ini.
Sebagai salah satu perawat istana yang cerdas dan gigih dalam menekuni dunia keperawatan, Hyeon terpanggil untuk membela nasib perawat Jeongsu, yang adalah sosok senior dan dicurigai hingga akhirnya ditahan oleh pihak penyidik di bawah kendali Komandan Song. Padahal ayahnya telah memperingatkannya untuk tidak terlalu ikut campur dengan masalah istana ini.
Perawat Jeongsu begitu istimewa di mata Hyeon karena berkat dialah gadis itu jadi mengenal dunia keperawatan. Seniornya itu juga berjasa karena telah menemukan dirinya yang terpuruk setelah dibuang oleh ibu kandung Hyeon sendiri sewaktu ia masih kecil.
Penyelidikannya yang berbasis pada kondisi jasad mempertemukannya dengan Inspektur Polisi Seo Eojin, yang juga sedang mengejar pelaku pembunuhan tersebut. Investigasi keduanya selalu mendapatkan hambatan terutama dari Komandan Song yang memandang sebelah mata.
Sementara itu ayah Hyeon yang juga menjabat sebagai Menteri Kehakiman turut menjadi batu sandungan dan tak pernah menghargai kemampuan serta prestasi yang diraih gadis itu baik di dunia kesehatan atau pun penyelidikan. Gadis yang dicap sebagai anak haram karena tak pernah diakui oleh sang ayah itu alih-alih sedih, justru bertekad untuk membuktikan bahwa dirinya mampu untuk mengungkap misteri ini.
Di tengah-tengah penyidikan, Hyeon tak sengaja berjumpa dengan perawat Inyeong yang lama mengabdi di kepolisian Gwangju dan juga pernah bersama-sama menjadi perawat di Hyeminseo. Kebetulan pula Inyeong adalah satu-satunya saksi di TKP.
Satu hal yang membuatnya yakin bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh seorang perawat yang mendendam adalah karena adanya kesaksian Komandan Chae, pimpinan kepolisian Gwangju yang tak ragu menyebutkan bahwa pelakunya adalah anak buahnya sendiri.
Dan ketika Hyeon menyadari siapa yang menjadi pelakunya, saat itulah ia sudah nyaris terlambat. Berkejaran dengan waktu, sang pembunuh terus membuntuti dirinya dan ingin menggagalkan hasil penyelidikan Hyeon dan membunuh gadis itu sekaligus.
Ulasan
Membaca cerita The Red Palace kita seakan diajak menyelami suasana kerajaan dengan intrik kejam yang begitu kental mewarnai kehidupan para penghuni istananya. Apalagi bila berkaitan dengan sejarah masa lampau yang tentu saja akan terus diingat oleh bangsanya sendiri, tak peduli itu menimbulkan aib atau kengerian.
Empat
perawat Hyeminseo terbunuh dengan begitu kejam dan ada peran perawat Hyeon yang begitu
terobsesi untuk mengungkap motif di balik pembantaian sadis itu. Bagian ini mengambil porsi terbanyak untuk diceritakan selain romansa dan kebencian keluarga. Di bagian ini pula kita diperkenalkan oleh sosok Hyeon yang begitu intens menyelidiki namun sesungguhnya insecure oleh keadaan dirinya yang tidak diakui oleh sang ayah alias menjadi anak haram.
Karakter Hyeon sedikit banyak memberi gambaran bahwa peran nakes di masa itu begitu dihormati, begitu penting, dipercaya dan diandalkan oleh pihak kerajaan. Bahkan sebagian ada yang dipekerjakan sebagai Damo (asisten) yang bertugas di divisi forensik. Mencerminkan betapa majunya kondisi kerajaan tersebut pada era itu.
Perjalanan cerita ini bisa dibilang agak pelan terutama saat Hyeon berjumpa dengan sang Inspektur yang mendukung dan memberinya jalan untuk menyelidiki secara leluasa kasus pembunuhan empat wanita itu.
Mendekati pertengahan cerita, mulailah terkuak berbagai hal yang mendorong Hyeon dan Eojin untuk segera bertindak cepat. Irama penyelidikan semakin gegas dan sat set karena berbagai hal yang tiba-tiba muncul menambah riuh beban seperti latar belakang Pangeran Mahkota, fakta pembunuhan dayang lain di masa lalu, serta dunia mata-mata yang dilakoni para dayang istana. Dan kesemuanya berkontribusi pada adanya dendam seseorang terhadap keluarga raja.
Cerita yang menarik karena berani mengangkat sejarah kelam Korea yang tidak pernah kita ketahui, lengkap dengan sosok pangeran yang konon memang begitu terkenal dengan kebrutalannya pada masa itu. Pasca pembunuhan itu, situasi kerajaan menjadi panas dan saling curiga. Bahkan memasuki istana rasanya seperti tertekan dan tidak nyaman.
Kalau masuk istana, kau akan mati atau berhasil bertahan dan menjadi satu lagi monster di dalam dinding-dindingnya...Ayo. "(hal 301)
Pada dasarnya kisah yang memiliki keterkaitan dengan sejarah tentunya harus patuh pada alur sejarahnya sendiri dan bagaimana peristiwa itu berakhir. Dalam The Red Palace fakta itu dimunculkan dengan lebih dramatis meski tidak terlalu banyak porsinya.
Intrik kerajaan seolah menjadi hal biasa, di mana para dayang dipaksa untuk bersekutu dan menjadi mata-mata bagi tuannya. Bila tidak sejalan, bayangan kematian muncul perlahan. Simbol dan judulnya telah memberi pesan gamblang bahwa isi novel ini akan penuh berdarah-darah.
Selain alurnya yang linier, kisah ini juga memaparkan kerinduan seorang anak yang ingin diakui, dihargai bahkan diapresiasi usahanya. Ketidakberdayaan Hyeon melunakkan hati ayahnya menjadi kendala minor di sela-sela penyelidikan.
Hasrat untuk mengetahui siapa
pelaku pembunuhan bisa jadi lamban manakala Hyeon sendiri masih
berkutat di antara ayah, ibu, dunia keperawatan serta asmara samar
terhadap inspektur polisi tampan, Eojin.
Semuanya tercampur
aduk, membuat pikiran Hyeon goyah dan terombang-ambing. Puncak ketidakberdayaannya terjadi juga yakni saat ia melawan kehendak sang ayah yang ingin mengambil
rumahnya ketika mereka berdua adu mulut di penjara. Buat saya, adegan
ini keren karena akhirnya ia mampu meluapkan emosi dan membuka sebagian
sisi tersembunyi dari seorang Hyeon, si anak haram yang ingin sekali
diakui prestasi dan keberadaannya.
Menemukan sosok pembunuhnya dan bagaimana relasi ayah dan putrinya yang piawai membuat herbal itu akhirnya memilih gencatan senjata akhirnya menjadi alasan kuat untuk menamatkan novel ini dengan tenang. Kesedihan dan kelegaan saling membingkai cerita tanpa terasa tumpang tindih.
Tidak ada komentar: