Bias, Obsesi
Rin Usami
Eri Pramestiningtyas-Penerjemah
Gramedia Pustaka Utama, 160 hal
Ipusnas
Sinopsis
Akari begitu mengidolakan Ueno Masaki atau Oshi, salah satu anggota grup populer mazama-Za. Segala sepak terjangnya selalu diikuti dan diulas melalui blog pribadinya. Setiap postingan mengenai Masaki, berbagai komentar dari penggemar bermunculan dan ini menambah semangat Akari untuk terus mengikuti dan memuja idola.
Saat Masaki diberitakan secara viral memukul penggemarnya, Akari sangat terkejut dan tidak bisa menerima kekhilafan yang dibuat idolanya. Kehidupan remaja ini pun seketika berantakan dan berimbas pada kondisi pelajaran dan sekolahnya.
Akari mulai malas bersekolah meskipun pihak sekolah sudah memberikan beberapa himbauan agar remaja ini bisa membereskan sekolahnya. Memang, selain menjadi blogger, Akari sering bekerja sambilan dan hasil upahnya kerap dipakai untuk membeli berbagai merchandise atau tiket konser.
Alih-alih mempertahankan kepopulerannya, Masaki memutuskan untuk kembali menjadi orang biasa dan tindakan ini mengecewakan Akari yang telah mengorbankan hidup dan masa depannya demi sang idola.
Ulasan
Menjadi bagian fangirling ternyata begitu
menyenangkan bagi Akari karena ia bisa merasa begitu dekat baik secara
emosi maupun fisik dengan idolanya, Ueno Masaki, atau biasa dipanggil Oshi.
Novel ini jelas memaparkan akibat tak langsung seseorang yang terlalu memuja sang idola. Akari sangat terobsesi untuk selalu mengikuti apa saja aktivitas yang dilakukan Oshi hingga mengorbankan bangku sekolah bahkan tempat kerja yang sangat berjasa memberikan upah untuk membeli segala merchandise artis tersebut.
Ketika Ueno memutuskan untuk berhenti dan kembali menjadi orang biasa, dunia obsesi Akari runtuh seketika, meninggalkan jejak kebodohan yang lama ia perbuat.
Novel ini berhasil memberi gambaran dan detail yang apa adanya atas sikap seorang gadis fangirling dan bisa dirasakan dampaknya oleh pembaca. Bagaimana Akari yang begitu terobsesi akhirnya memang menjadi manusia gagal dan jalan keluar paling gampang setelah tidak naik kelas adalah drop out. Menjadikan sosok gadis ini dicap apatis, mengesalkan dan tak berguna.
Novel ini jelas memaparkan akibat tak langsung seseorang yang terlalu memuja sang idola. Akari sangat terobsesi untuk selalu mengikuti apa saja aktivitas yang dilakukan Oshi hingga mengorbankan bangku sekolah bahkan tempat kerja yang sangat berjasa memberikan upah untuk membeli segala merchandise artis tersebut.
Ketika Ueno memutuskan untuk berhenti dan kembali menjadi orang biasa, dunia obsesi Akari runtuh seketika, meninggalkan jejak kebodohan yang lama ia perbuat.
Novel ini berhasil memberi gambaran dan detail yang apa adanya atas sikap seorang gadis fangirling dan bisa dirasakan dampaknya oleh pembaca. Bagaimana Akari yang begitu terobsesi akhirnya memang menjadi manusia gagal dan jalan keluar paling gampang setelah tidak naik kelas adalah drop out. Menjadikan sosok gadis ini dicap apatis, mengesalkan dan tak berguna.
Ketika remaja ini tidak naik kelas dan
memutuskan keluar dari sekolah, momen itu akhirnya menjadi puncak ketidakpedulian
atas beberapa tanggung jawab. Akari semakin tenggelam dalam obsesinya
terhadap idoalanya dan meskipun keluarga terutama sang ibu sudah kerap
menegur, ia telanjur mengabaikan semuanya.
Aku tidak akan memberimu uang saku lagi kalau kau tidak berniat melanjutkan sekolah atau mencari pekerjaan. Akan kutetapkan batas waktunya (hal 114)
Novel ini meskipun sangat tipis namun menyuarakan dampak khas gejolak remaja yang besar, yang begitu larut dalam fanatisme buta terhadap idola yang dikaguminya. Kemalasan yang berujung pada kegagalan seakan dianggap hal yang sepele bagi remaja dan fenomena ini diangkat dengan cermat oleh pengarangnya.
Terus terang membaca novel ini ada rasa tak percaya dan timbul pertanyaan karena bagaimana bisa ceritanya mampu memenangkan penghargaan Akutagawa Prize sementara isinya cenderung biasa banget.
Namun setelah dibaca lagi, barulah saya paham bahwa justru dari hal yang biasa itulah potret remaja Jepang atau negara lain yang begitu tergila-gila pada idola ditampilkan secara apa adanya dengan bahasa yang sederhana.
Ya, mirip karya sastra Indonesia seperti Achmad Tohari semacam itulah. Bersahaja. Saya memberinya rating dua bintang saja untuk novel ini karena saya anggap pengarangnya gagal membuat saya terkesan.
Tidak ada komentar: