Chronicle of a Death Foretold-Kronik Sebuah Kematian
Gabriel Garcia Marquez
Djokolelono-Penerjemah
Gramedia Pustaka Utama, 128 hal
iPusnas
Sinopsis
Entah mimpi apa malamnya sehingga Santiago Nasar harus menemui ajalnya di tangan si kembar, Pedro dan Pablo Vicario. Kedua eksekutor ini sebenarnya tidak langsung tiba-tiba begitu saja ingin menghabisi Santiago.
Beberapa hari sebelumnya, telah terjadi peristiwa menghebohkan yakni dikembalikannya sang pengantin wanita bernama Angela Vicario yang tak lain adalah adik si kembar. Ia dikembalikan ke rumah orangtuanya oleh pengantian laki-laki, Bayardo San Roman dan menuduh istrinya sudah tidak perawan saat dinikahi.
Pesta pernikahannya sendiri sangat meriah dan menelan dana sebesar sembilan ribu peso, dan tadinya setelah menikah, pasangan itu akan menempati rumah impian Angela yang masih menjadi hak milik Duda Xius.
Angela yang sakit hati langsung keceplosan begitu saja menyebut nama Santiago Nasar saat ditanya oleh kedua kakak kembarnya siapa yang telah lebih dulu menodainya. Diamuk amarah, si kembar ini langsung menyambar dua pisau jagal yang terbungkus kain lap dapur yang langsung disita Pak Walikota, Kolonel Lazaro Aponte.
Seluruh warga terkejut menyaksikan si kembar petantang-petenteng membawa senjata tajam dan berkata akan membunuh Santiago. Kendati Santiago juga sering membawa pistol Malincher dan senapan Magnum Holland, tetap saja takdirnya sudah ditentukan. Ia tetap harus mati.
Ulasan
Menceritakan detik-detik menjelang kematian seseorang seolah mewartakan betapa kehidupan terasa begitu bernilai di waktu yang tinggal sedikit, begitu penting di sisa usia yang sebentar lagi akan habis. Ada garis batas tipis yang memisahkan antara sebelum kejadian dan sesudah kematian berikut konsekuensi yang ditimbulkan.
Tak perlu merasa aneh mengapa Angela Vicario harus menyebut Santiago yang harus menemui kematian. Tak perlu merasa marah mengapa si kembar Pedro dan Pablo yang harus menjadi algojonya. Tak perlu menyesal mengapa walikota tak berusaha sekuat tenaga untuk mencegah apalagi dengan cepat menahan si pelaku. Takdir adalah jawabannya.
Pengarang dalam hal ini diwakili oleh si 'aku' dengan runtut menjabarkan rentang waktu kejadian dua puluh tujuh tahun silam dan seperti biasa selalu menghadirkan banyak tokoh yang memiliki peran masing-masing.
Banyak tokoh yang berada di seputar detik-detik menjelang kematian Santiago berkepentingan baik dalam upaya untuk mencegah atau tanpa sengaja justru memuluskan kematian itu terjadi. Alur tragedi ini begitu lembut dituturkan seolah semuanya akan mengiringi peristiwa menyedihkan ini.
Novel Gabriel selalu khas bercorak seperti ini; ramai dan kusut ibarat tali yang seolah tidak ketahuan lagi ujungnya kecuali langsung disimpul mati saja. Penuh hiperbola dengan diksi yang indah serta berlebihan dalam detail kata.
Semakin mendekati jamnya, semakin tak karuan perasaan para warga mengetahui Santiago akan dihabisi. Dan dalam novel yang tipis ini kita hanya akan disuguhi fragmen penting sekelumit hidup menjelang kematian sang korban beserta implikasinya.
Bagaimana dengan Santiago sendiri? Kesan yang tertangkap adalah ia pribadi yang baik, lugu dan tanpa prasangka, menjadikannya seakan ia tokoh suci dan sedikit membuat jeri bagi Vicario bersaudara. Bahkan saat diberitahu bahwa ia akan menjadi sasaran pembunuhan, respons yang terjadi begitu natural selayaknya manusia yang tidak tahu apa-apa, dan tidak siap.
Kemudian dia bertanya langsung, apakah Santiago tahu bahwa Vicario bersaudara sedang mencarinya untuk membunuhnya. "Dia berubah pucat dan tampak kebingungan, begitu rupa sehingga tak mungkin kita berpikir bahwa dia hanya pura-pura," (hal 115)
Cara Gabriel menggambarkan watak masing-masing tokoh terasa begitu dekat, humanis dan membumi membuat mereka sepertinya tidak beda jauh dengan kita sekaligus cermin diri yang paling realistis. Pada akhirnya kematian yang dituturkan adalah seperti dalam sebuah obituari yang indah namun sedikit konyol karena melibatkan banyak pihak, lahi-lagi absurd di sana sini serta magis.
Tidak ada komentar: