Perkumpulan Anak Luar Nikah
Grace Tioso
Noura Publishing, 396 hal
Mizan Store
Sinopsis
Dunia tiba-tiba runtuh seketika kala Martha ditangkap polisi Singapura akibat pengakuannya yang dimuat beberapa tahun silam tentang pemalsuan dokumen yang tanpa sengaja ia tuliskan demi kelancaran mendapatkan beasiswa dan berkuliah di kampus Singapura.
Memalsukan akta kelahiran bukannya tanpa alasan. Bersama kedua sahabatnya, Fanny dan Linda, waktu itu ia terpaksa mengganti sebutan anak luar nikah karena menyadari bahwa dirinya adalah putri dari keluarga dengan status 'stateless' alias tanpa kewarganegaraan.
Martha sendiri bimbang apakah ia akan mengaku bersalah agar lekas bebas dari penjara, atau ngotot mempertahankan ketidakbersalahannya seraya membeberkan alasannya dengan beberapa kali sidang yang sudah pasti akan melelahkan. Ini sulit diputuskan segera mengingat semua berkaitan dengan kedudukan dan status promosi suaminya, Ronny sebagai associate professor di perguruan tinggi sekaligus almamater mereka berdua dulu.
Setelah menjalani sidang, akhirnya Martha dijatuhi hukuman dan selama di penjara ia banyak merenung, memikirkan dan merefleksikan kehidupan dirinya serta keluarganya ke arah yang lebih baik.
Sebagai keturunan Tionghoa, selama ini ia sudah memberikan hal yang terbaik untuk Indonesia. Dibantu sepupunya Yuni, si istri juragan kecap yang bergerak dari Klaten, keduanya rajin memberikan pencerahan politik melalui akun Twitter @duolion123 terutama soal pilkada dan tetek bengeknya.
Harapannya masyarakat ikut mengenal calon pemimpin yang terbaik sesuai dengan kapasitasnya. Sayang, keasyikannya dalam memberi kuliah politik ini harus dibayar mahal dan berakhir dinonaktifkan akun tersebut akibat ditangkapnya Martha. Padahal akunnya sangat populer bahkan memancing seorang wartawan Tionghoa bernama Krishna untuk mengupas dan menyelidiki sepak terjang perempuan itu.
Ulasan
Membaca cerita ini terasa sekali semangat kebangsaannya. Jiwa nasionalisme begitu kental. Keharuan yang membuncah, kecintaan yang mendalam terhadap tanah air sangat didengung-dengungkan di novel ini. Kendati bergenre fiksi namun apa yang disodorkan dalam cerita ini adalah realita luka lama yang sulit untuk dibasuh dalam waktu singkat.
Perlakuan Pemerintah yang sangat rasis terhadap segala aspek kehidupan orang Tionghoa-dulu kita menyebutnya orang Cina, sangat menyakitkan apalagi diceritakan dengan rentang waktu yang panjang diawali dengan masa kecil Martha yang selalu diolok-olok karena matanya yang sipit, atau ketika ayah Martha yang biarpun telah menyogok sejumlah uang tetap saja status sebagai WNI sulit didapatkan.
Pengurusan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) yang diidam-idamkan para keturunan Tionghoa telah menjadi tambang emas yang sangat menguntungkan bagi para oknum birokrat.
Dan Martha yang hanya seorang gadis Cina biasa, kebetulan paling encer otaknya serta bercita-cita tinggi untuk bersekolah di luar negeri terpaksa menyetujui kedua sahabatnya untuk memalsukan seluruh dokumen sebagai syarat untuk diterima di University of Singapura.
Lo tahu, Ta, kesialan lo yang utama bukan karena rumah lo kebakaran, tapi karena lo jadi Cina yang lahir di Indo! Kita sial karena kita Cina yang tinggal di Indo! (hal 231)
Status anak luar nikah memang terasa asing didengar bagi kuping orang yang sepanjang hidupnya di Indonesia tak pernah mengalami perlakuan rasis. Saya sendiri jujur baru mengetahui adanya istilah ini setelah membaca novel Perkumpulan Anak Luar Nikah.
Terdengar aneh dan sangat merendahkan karena berkonotasi negatif. Padahal itulah kata yang paling tepat dipilihkan oleh pihak penguasa bagi anak-anak keturunan Cina yang lahir di Indonesia namun tak pernah sekali pun ke luar negeri, apalagi ke RRC yang sayangnya tidak diurus kepemilikan SBKRI nya oleh para orangtuanya.
Ide ceritanya memukau sekaligus berat, karena semua sisi diangkat mulai dari luka masa lalu yang berkubang trauma lalu bercampur aduk dengan persoalan lain mulai dari almamater, petualangan di medsos serta masa depan keluarga dan pernikahan Martha yang nyaris di ujung tanduk.
Dengan lincahnya pengarang memadukan segala hal, segala aspek, segala tetek bengek birokrasi dan persahabatan. Dari masa lalu yang penuh traumatis akibat kebijakan kaku, lalu bergerak ke masa kini dengan pantulan wajah Martha yang terpekur membayangkan dampak yang ditimbulkan dari perbuatannya.
Jarang sekali persoalan tentang birokrasi pemerintah dan orang Tionghoa ini diangkat secara blak-blakan. Ini adalah novel yang bertipe bukan yang bermaksud memancing rasa iba namun kehidupan yang sesungguhnya yang dijalani orang Cina di Indonesia semasa rezim Orba inilah yang menjadi sorotan khusus dan realistis.
Dampaknya yang tahunan dan menyentuh bergenerasi-generasi itu ternyata benar-benar bikin terpuruk serta mendatangkan penderitaan warga keturunan pada masa itu. Jangan lupakan peristiwa 1998 yang menjadi titik terendah dalam hidup mereka.
Terlepas dari segala kesulitan yang melanda Martha, novel ini cukup membuka mata dan memberi konsekuensi besar lengkap dengan muatan sejarah kelam serta satirnya yang menusuk. Alur cerita yang maju mundur sarat menceritakan berbagai konflik yang panas seperti campur tangan sahabat, suami istri, kenalan kuliah, persahabatan, birokrasi, pengadilan, almamater, promosi jabatan, politik, bahkan kerusuhan.
Seakan tak diberi waktu untuk tarik napas sejenak akibat berjejalannya masalah yang mendera kehidupan Martha, novel ini berakhir dengan situasi yang anehnya langsung beres setelah sebelumnya kita dipaksa memasuki ruang pikirnya demi untuk merasakan kepelikan dan ketidakadilan.
Akhir kata, bagaimanapun Indonesia adalah tempat yang paling dirindukan. Sebagai diaspora, saat jauh dari negerinya, yang mampu ia rasakan dan masih melekat di dadanya hanyalah rasa kekeluargaan yang tak pernah ia temui selain di tanah airnya sendiri.
Tidak ada komentar: