Pasien
Naomi Midori
Penerbit Haru, 120 hal
Books App
Sinopsis
Enam anggota keluarga pemilik toko bangunan ditemukan tewas terbantai di rumah mereka. Penyelidikan polisi menyimpulkan bahwa kasus ini merupakan permasalahan warisan di keluarga tersebut. Salah satu dari anggota keluarga itu hendak menguasai harta.
Sementara itu seorang gadis manis bernama Imelda Shafira berkenan melakukan sesi konseling pertama kalinya di hadapan psikolog, Danisa Ramdhani. Sebagai klien yang baik, Imelda cukup lancar membeberkan kisah masa lalunya yang bertalian dengan keluarga besarnya, keluarga yang membawa trauma besar hingga mengakibatkan gadis ini menderita insomnia.
Gadis yang bekerja sebagai akuntan ini bukan klien biasa, ia spesial. Imelda mampu bercerita dengan dibumbui kalimat filosofis dan juga pengamat paling handal sehingga terkadang penuturannya cukup mengesankan Danisa.
Cerita yang disampaikan kali ini cukup menggetarkan. Sebagai cucu Pak Muhaidi yang merupakan orang terpandang di desanya dan memiliki toko bangunan yang cukup laris, Imelda cukup pintar untuk memahami bahwa ayahnya, Pak Yunus menjadi sosok yang kerap diperalat oleh Adil, paman Imelda yang berusaha berkelit dari kewajiban menyerahkan sesajen untuk leluhur mereka.
Akibat melupakan sesajen, keluarga itu mengalami musibah besar meninggalkan Imelda dengan cerita masa lalu yang harus dituturkan pada Danisa, tanpa menyadari sebenarnya siapakah yang sesungguhnya dianggap pasien, Danisa atau Imelda?
Ulasan
Sekali lagi harta warisan menjadi bibit permasalahan paling membahayakan yang mampu memecah belah keluarga sekaligus menyengsarakan semua pihak hingga menjurus ke kematian brutal.
Saya menyukai cara berpikir Imelda yang sat set dalam mengeksekusi seluruh keturunan Paman Adil. Entah bagaimana, langkahnya dalam mengakui kejahatannya di depan Danisa benar-benar bikin bergidik dan tentu saja plot twist.
Yang disayangkan hanyalah mengapa cerita ini terasa singkat sekali durasinya. Kendati jumlah halamannya tipis, namun novelnya mampu memberi nuansa horor yang membangkitkan rasa berjengit dan giris serta memiliki bobot cerita yang sukses bikin terperangah.
Terdiri dari dua subplot yang sangat berkaitan. Plot pertama bercerita tentang masa kecil Imelda yang kerap menyaksikan ayahnya kerap diperlakukan seperti pesuruh oleh Adil. Sikap keluarga paman Imelda sendiri memaksa gadis itu untuk melawan dan alih-alih sulit, gadis ini justru menemukan cara yang mematikan untuk menghabisi seluruh keluarga pamannya berikut para sepupunya yang menyimpang.
Plot atau alur kedua yang tak kalah penting dan krusial adalah saat Imelda telah selesai dengan tugasnya mengeksekusi lalu mulai menceritakan hal-hal yang absurd kepada seorang psikolog. Di sini hal yang membuat terkecoh mencapai puncaknya. Betapa jiwa sedikit psikopat sangat menguasai perasaan dan benak Imelda.
Satu-satunya penyesalan yang kurasakan adalah penundaan waktu. Andai tahu semuanya akan berakhir indah seperti ini, sudah kubunuh mereka sekeluarga lebih awal (hal 102).
Atas segala kehidupan tragis yang dijalani Imeda, sebenarnya siapakah yang menjadi pasien atau klien? Pengarang menjungkirbalikkan posisi yang jamak terjadi antara psikolog dengan klien atau pasien. Relasi antara yang bercerita dan yang bertugas mendengarkan menjadi berantakan posisinya.
Imelda harus mencurahkan beban yang disimpannya kepada seseorang yang ia percayai. Namun rasa percaya saja tidak cukup. Ia harus bertemu sosok 'psikolog' yang tak sekadar mendengar kisahnya tetapi juga tak perlu ada tindakan apa pun, alias dibiarkan mengambang tanpa ada solusi. Siapa sangka, wanita bernama Danisa menjadi target yang tepat dan menjadi tempat penampung terbaik bagi Imelda.
Novel yang tidak biasa, ganjil namun memberi efek kejut yang mengesankan. Keren pengarangnya karena tak hanya memberi kepuasan baginya (karena berhasil memberi kejutan pada pembaca) juga dari sisi pembaca sendiri yang pada akhirnya mengalami katarsis atas pergolakan batin yang dialami Imelda.
Seandainya kisah ini bukan genre horor dan tidak diangkat dari kisah semi nyata tragedi di Indonesia, mungkin terkesan hanya sebagai kisah fiksi yang biasa saja.













Tidak ada komentar: